Kamis, 12 Januari 2012

ULUM QUR'AN


BAB I
ILMU TAFSIR AL-QUR’AN
A. Pengertian Tafsir
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan,Pengungkapan, dan Menjabarkan kata yang samar.
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.
Jadi, Secara umum Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat al Qur’an. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau sendiri yang menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi disebut sebagai penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat berusaha menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap keterangan nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama, dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmuan.

B. Sejarah Penafsiran Al-Qur’an
             Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
a.    Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan, (QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Allah  :وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
kemudian Rasulullah bersabda :  ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti) di surga.
b.      Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus keislamannya
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4
c.       Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)- Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)- Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy. Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya. 5
      d.  Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
P eriode Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.

BAB II
QIROAT AL-QUR’AN
A. Pengertian   Qira’at
Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.” Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Baihaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.


Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ )
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
a. Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
b. Qira’at Syadzzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syadzzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُم اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
b. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.






BAB III
MAKANAN YANG HALAL DAN BAIK
A.  Makanan yang halal dan baik
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar manusia memakan makanan yang halal dan baik.
Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
 ( الْبَقَرَة :172)
"يَا أَيّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَات" حَلَالَات "مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ" عَلَى مَا أَحَلَّ لَكُمْ "إن كنتم إياه تعبدون"
Ada tiga kata penting yang perlu dibahas pengertiannya, yaitu : Makan, halal, dan baik.
1. Makan adalah peristiwa memasukkan sesuatu ke dalam tubuh melalui mulut atau bagian tubuh lainnya (misalnya dalam infus). Dengan demikian, memasukkan cairan ke dalam mulut dalam bentuk kuah atau minuman juga termasuk kategori makan.
2. Halal berarti lawful yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi sah menurut hukum. Kebalikan dari halal adalah haram. Dalam kaitannya dengan makanan, halal dan haram adalah istilah yang menerangkan status hukum suatu makanan, yaitu sah atau tidak sah menurut hukum Allah. Artinya, suatu makanan halal (sah menurut hukum Tuhan) belum tentu boleh dimakan. Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa makanan yang boleh dimakan adalah yang halal (sah menurut hukum Allah) dan baik. Jadi, perlu ditegaskan disini bahwa pengertian halal tidak sama dengan boleh dimakan. Yang boleh dimakan adalah yang halal dan baik.
3.  Makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi kehidupan orang yang mengkonsumsinya. Manfaat tersebut dapat ditinjau dari segi jasmaniah dan rohaniah. Makanan yang baik dari segi jasmaniah adalah yang tidak mengganggu kesehatan sedangkan makanan yang baik dari segi rohaniah adalah yang tidak membuat rasa permusuhan, rasa kebencian, lupa pada pengingatan Allah, atau lupa shalat.
B. Pentingnya makanan halal dan pengaruhnya
Memakan makanan halal serta menjauhkan diri dari yang haram sangat penting sekali. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ »
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya: ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’” (QS. Al-Mu’minun: 51)
Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo’a: ‘Ya Rabb, Ya Rabb,’ sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram,  ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!”
Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa makanan yang dimakan seseorang mempengaruhi diterima dan tidaknya amal shalih seseorang. Hal ini tentunya cukup membuat kita memberikan perhatiaan yang serius dan berhati-hati dalam permasalahan ini.
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan memakan makanan yang halal. Sedangkan memakan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima.”
Hal ini sangat berbahaya sekali, perhatikan lagi sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamyang lain:
إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِه
“Siapa saja hamba yang dagingnya tumbuh dari (makanan) haram maka Neraka lebih pantas baginya.” (HR. At-Tirmidzi)
Selain itu, berikut beberapa manfaat makanan halal:
1. Bagi umat Islam, mengkonsumsi yang halal dan baik (thayib) merupakan manivestasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah. Hal ini terkait dengan perintah Allah kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur`an:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 88)
2. Memakan yang halal dan thayib merupakan perintah dari Allah yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia yang beriman. Bahkan perintah ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas. Perintah ini juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti:
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
3. Memakan yang halal dan thayib akan berbenturan dengan keinginan syetan yang menghendaki agar manusia terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu menghindari yang haram merupakan sebuah upaya yang harus mengalahkan godaan syetan tersebut. Mengkonsumsi makanan halal dengan dilandasi iman dan taqwa karena semata-mata mengikuti perintah Allah merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dan memberikan kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya memakan yang haram, apalagi diikuti dengan sikap membangkang terhadap ketentuan Allah adalah perbuatan maksiyat yang mendatangkan dosa dan keburukan. Sebenarnya yang diharamkan atau dilarang memakan (tidak halal) jumlahnya sedikit. Selebihnya, pada dasarnya apa yang ada di muka bumi ini adalah halal, kecuali yang dilarang secara tegas dalam Al Qur’an dan Hadits.
C. Dampak makanan halal terhadap kesehatan jasmani dan perilaku manusia
Memakan makanan yang bergizi disamping halal adalah karena untuk kebaikan manusia itu sendiri. Makanan yang bergizi merupakan makanan yang dibutuhkan untuk memperoleh kualitas kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas akal dan rohani.
Bahan makanan menurut ilmu pengetahuan baik, belum tentu baik menurut ilmu pengetahuan, seperti otak hewan dikonsumsi oleh orang berpenyakit jantung akan membahayakan jiwanya. Persyaratan makanan bergizi menurut ilmu gizi adalah memenuhi fungsi:
1. Memenuhi Kepuasan Jiwa
2. Memberi rasa kenyang
3. Memenuhi kebutuhan naluri dan kepuasan jiwa
4. Memenuhi kebutuhan sel-sel baru untuk kebutuhan badan
5. Menggantikn sel-sel yang rusak
6. Mengatur metabolisme
7. Mempertahankan tubuh
Kesehatan jasmani banyak tergantung pada apa yang kita makan. Anak balita membutuhkan protein, sedangkan balita membutuhkan karohidrat lebih banyak dari orang dewasa.
Jumlah dan variasi mkanan yang mempengaruhi kekuatan tubuh, daya kerja, dan daya tahan tubuh terhadap makanan yang halal dan bergizi juga dapat menjaga keseimbangan hormone. Untuk menjaga unsure dasar dalam keharmonisan kesadaran dan perasaan hati manusia serta keseimbangan mental sesuai ungkapan “Akal mental yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.”
Disamping alasan yang bersifat lahir (menjaga keseimbangan tubuh dan kesehatan ). Makanan halal juga memberikan dampak terhadap perilaku seseorang.
1. Menjaga keseimbangan jiwa manusia yang suci dan fitrah untuk tetap mentauhidkan Allah.
2. Menumbuhkan sikap juang yang tinggi karena menjaga kehalalan makananya.
3. Membersihkan hati dan menjaga lisan, karena daging yang tumbuh akan meningkatkan kualitas kesalehan.
4. Menumbuhkan kepercayaan diri dihadapan Allah. Karena Allah akan selalu mendengarkan do’a kita.
marilah kita renungkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَأْكُلَ إِلاَّ طَيِّبًا فَلْيَفْعَلْ
“Maka barangsiapa yang bisa untuk tidak makan sesuatu kecuali yang baik-baik, maka kerjakanlah.” (HR. Al-Bukhari)
D. Minuman keras (khomr)
Arti asal kata khamr (خَمْر) adalah ‘tutup’. Segala sesuatu yang berfungsi sebagai penutup disebut khimâr (خِمَار). Kemudian, lebih populer kata itu diartikan sebagai ‘kerudung atau tutup kepala wanita’, seperti yang terdapat di dalam QS. An-Nûr [24]: 31.
 وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Adapun arti lain dari kata khamr (خَمْر) adalah ‘minuman yang memabukkan’. Disebut khamr (خَمْر) karena minuman keras memunyai pengaruh negatif yang dapat me¬nutup atau me¬lenyap¬kan akal pikiran. Kata khamr (خَمْر) yang berarti ‘minuman keras’, di dalam Al-Qur’an, disebut enam kali, antara lain, di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
dan QS. Al-Mâ’idah [5]: 90 dan 91.
Inti pembicaraan Al-Qur’an tentang hal ini berkisar pada persoalan hukum meminum jenis minuman tersebut. Al-Qur’an menetapkan bahwa hukum meminum khamr (خَمْر) adalah haram. Pengharaman khamr (خَمْر) ini oleh Al-Qur’an ditetapkan secara bertahap. Pada tahap pertama, Al-Qur’an di dalam ayat Makkiyah-nya secara tidak langsung mulai menganjurkan menghindari khamr (خَمْر) dengan menunjukkan bahwa padanya terdapat unsur memabukkan, seperti ditegaskan di dalam QS. An-Nahl [16]: 67.
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
 Meskipun begitu, ayat ini belum mengharamkan khamr (خَمْر). Dengan kata lain, khamr (خَمْر) yang dibuat dari buah korma dan anggur itu pada masa awal Islam adalah halal. Kemudian, pada periode Madinah turun ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela khamr (خَمْر). Di situ terdapat mudharat yang lebih besar dibandingkan manfaatnya, sebagaimana di tegaskan di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 219. Menanggapi ayat ini, kaum Muslim ketika itu masih terpecah menjadi dua golongan. Sebagian meninggalkan minum khamr (خَمْر) karena menyadari adanya dosa yang besar dan sebagian lagi tetap meminumnya karena melihat adanya aspek manfaat pada jenis minuman tersebut. Selanjutnya, Al-Qur’an secara tegas melarang atau mengharamkan minum khamr (خَمْر) khusus pada waktu-waktu menjelang shalat, seperti yang terdapat di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Dengan ayat ini, seseorang mungkin tetap meminum khamr (خَمْر) setelah Isya, misalnya, yang pada waktu Shubuh mabuknya hilang. Pada tahap terakhir, turun ayat Al-Qur’an yang mengharamkan khamr (خَمْر) secara mutlak pada seluruh waktu, seperti ditegaskan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 90 dan 91.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90)
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91)
 Diceritakan, ketika ayat ini turun, Umar bin Al-Khattab berkata, “Sungguh kami berhenti minum khamr (خَمْر)”. Sahabat Anas meriwayatkan bahwa sejumlah orang tengah minum khamr (خَمْر) di rumah Abu Thalhah; begitu mendengar diharamkannya khamr (خَمْر), mereka langsung menumpahkan dan memecahkan semua bejana khamr (خَمْر). Jumhur ulama bersepakat bahwa khamr (خَمْر), banyak maupun sedikit, adalah haram.


BAB IV
MEMBERDAYAKAN AKAL FIKIRAN
A.       Pendayagunaan Akal
Firman Allah QS. Al-Fathir, 35:27-28.
اَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً، فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُّخْتَلِفًا اَلْوَانُهَا، وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيْضٌ وَحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَنُهَا وَ غَرَابِيْبُ سُوْدٌ (٢٧) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهُ كَذَلِكَ، إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَائُوْا، إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ(٢٨)
Artinya: Tidaklah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Al-Fathir, 35:27-28)
Selanjutnya berkenaan dengan ayat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Alwanuha: warna-warnanya, seperti merah kuning, hijau dan lain sebagainya.
Al-Judad: jamak dari juddah, artinya: jalan, yaitu jalan yang bermacam-macam warnanya, digunung dan semisalnya.
Al-Gharabib: jamak dari ghirbib: hitam pekat. Orang mengatakan aswadu ghirbib (hitam pekat) abyadhu baqiq (putih cemerlang) asfaru faqi’ (kuning kemilau) dan ahmaru qanim (merah membara).5
Pada ayat ini Allah menguraikan beberapa hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaannya yang oleh kaum musyrikin dapat dilihat setiap waktu yang kalau mereka menyadari pula ke-Esaan dan kekuasaan Allah yang Maha Sempurna itu. Allah menjadikan sesuatu yang beraneka ragam macamnya yang bersumber dari yang satu. Allah menurunkan buah-buahan yang beraneka ragam warna, rasa dan baunya. Sebagaimana yang kita saksikan buah-buahan itu warnanya ada yang kuning, ada yang merah dan sebagainya.
Kemudian dalam ayat (28) Allah menjelaskan tentang hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaanya. Allah SWT, menciptakan binatang-binatang melata dan binatang ternak, yang bermacam-macam warnanya, sekalipun dari jenis-jenis yang satu. Bahkan ada binatang yang satu sering terdapat warna yang bermacam-macam. Tentang ulama atau orang-orang yang berilmu pengetahuan, Ibnu Katsir telah menafsirkan “tidak lain orang yang akan merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama yang ma’rifat yaitu mengenal Tuhan menilik hasil kekuasaan dan kebesarannya yang mempunyai sekalian sifat kesempurnaannya dan yang mempunyai al-Asma’ul Husna apabila ma’rifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang, ketakutan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak.
Dari ayat 27 dan 28 tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:7
1. Tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diturunkannya hujan, tumbuhlah tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan yang beraneka ragam.
2. Demikian juga manusia, binatang-binatang diciptakan Allah bermacam-macam warna jenisnya sebagai tanda kekuasaanNya.
3. Yang benar-benar mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah dan mentaatinya hanyalah ulama, yaitu orang-orang yang mengetahui secara mendalam kebesaran Allah. Dia Maha Perkasa menindak orang-orang kafir, Maha Pengampun kepada hamba-hambanya yang beriman dan taat.
B. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
a.       Al-Qur’an Surat Al-Alaq Ayat 1-5
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
Pokok Uraian Tafsir Surah al-’Alaq (96) ayat 1-5 *)
Surat  pertama diturunkan sehingga menjadi ‘penanda’ Muhammad SAW sebagai Rasulullah,  Diturunkan ketika Rasulullah Muhammad SAW sedang bertahanuts ‘merenung’ di gua Hira’, pada tanggal 17 Ramadhan lewat malaikat Jibril yang muncul dengan wujud aslinya
Tema surah ini: pengajaran dan penjelasan tentang Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya serta bahwa Dia sumber (pengajar) ilmu pengetahuan. Nama lain surah al-’Alaq: Iqra’, Iqra’ Bismi Rabbika

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
1. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta
 Bacalah [wahyu Ilahi, alam, masyarakat, pengetahuan, diri] dengan nama Tuhan [yang selalu memelihara dan membimbing]mu dan menciptakan [semua makhluk kapanpun]
a. Qara’a ‘menghimpun’ dan ‘membaca’: menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu
b. Bismi sebagai mulabasah ‘penyertaan’: Bacalah disertai dengan nama Tuhanmu
c. Rabb seakar dengan tarbiyah ‘pendidikan’: pengembangan, perbaikan, peningkatan
d. Khalaq ‘mencipta’ = ja’ala ‘mencipta bermanfaat’
e. Panca Baca kita: baca al-Quran, baca buku, baca lingkungan, baca diri, baca peluang
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2)
2. Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq
.           [Dia adalah Tuhan] yang telah menciptakan manusia [yakni semua manusia kecuali Adam dan Hawa] dari ‘alaq [yakni segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim]
a. Kecuali Adam dan Hawa, lambang manusia berakal budi yang pertama
b. Insan ‘manusia jiwa’ bisa berasal dari uns ‘harmonis’, nisy ‘lupa’ atau naus ‘gerak’
c. al-’Alaq ‘segumpal darah’, sesuatu yang bergantung di dinding rahim, embriologi
d. Penegasan kembali proses penciptaan manusia secara utuh-total (fisik, akal, batin, intuisi) sebagai dasar bagi terlaksanakannya perbuatan-perbuatan yang lain
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
3. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah
Bacalah [berulang-ulang] dan Tuhanmu [Pemelihara dan Pendidik]mu Maha Pemurah [sehingga akan melimpahkan aneka karunia]
a. Bacalah (berulang-ulang) [meskipun objek-baca sama niscaya muncul pengertian baru]
b. al-Akram ‘paling pemurah’. Karama 27 x disebut al-Quran: memberi dengan mudah tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, bersifat kebangsawanan
c. Generasi-generasi bergantian membaca al-Quran dan alam raya yang kemudian melahirkan pemahaman dan penemuan rahasia yang berbeda, dan terus berkembang
d. Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberi manfaat kepadamu, manfaat yang banyak tidak terbatas karena Dia akram, memiliki segala macam kesempurnaan.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
4. Yang mengajar dengan pena
. [Dia yang Maha Pemurah itu] yang mengajar manusia dengan pena [yakni dengan sarana dan usaha mereka]
a. al-Qalam ‘pena’ atau ‘hasil alat yang diruncingkan’
b. Ada kesejajaran-berkebalikan redaksi ayat ini dengan ayat ke-5 sehingga memunculkan tafsir luasnya menjadi: (Dia) yang mengajar (manusia) dengan pena (tulisan) [hal-hal yang telah diketahui manusia]
c. Pengajar ilmu pengetahuan yang telah tertuliskan (pena) semuanya itu Allah SWT
d. Dikuatkan pula dengan QS al-Qalam [68]: ayat 1 yang artinya: Nun demi Qalam dan apa yang mereka tulis. Awal surah al-Qalam juga diturunkan setelah surah al-’Alaq ini
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
5. Mengajar manusia apa yang belum diketahuinya
 [Dan Dia juga yang] mengajar manusia [tanpa alat dan usaha mereka] apa yang belum diketahuinya
a. Kesejararan-berkebalikan redaksi ayat ini dengan ayat ke-4 yang memunculkan tafsir luas: (Dia) mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum diketahui sebelumnya [inilah 'ilm ladunniy]
b. Pengajar (ilm ladunniy) kepada manusia adalah Allah SWT
c. Allah memperkenalkan diri sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui dan Maha Pemurah. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan karim (kemurahan)-Nya tidak terbatas sehingga Dia kuasa dan berkenan untuk mengajar manusia dengan ataupun tanpa pena
C.  Pemanfaatan Alam Semesta
"هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْض" أَيْ الْأَرْض وَمَا فِيهَا "جَمِيعًا" لِتَنْتَفِعُوا بِهِ وَتَعْتَبِرُو
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون (َالْجَاثِيَة :12)
Allahlah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al Jatsiyah [45] : 12).

a)      Sarana Transportasi

Pada zaman dahulu (sebelum Islam datang dan masa awal Islam sampai abad pertengahan) fungsi laut adalah sebagai salah satu jalur transportasi yang sangat populer bagi manusia setelah jalur darat, laut memberikan kontribusi yang sangat luas bagi kemakmuran hidup manusia. Ini bisa dimaklumi dikarenakan secara geografis pun komposisi laut jauh lebih besar dari pada daratan. Sehingga manusia senantiasa berusaha dengan segala upaya agar mampu memanfaatkan jalur ini untuk kepentingan perdagangan mereka dan juga kepentingan transportasi laut lainnya.
Manfaat laut untuk kepentingan transportasi ini sudah dijelaskan dalam firman-Nya di surat al Baqarah ayat 164; وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ   “dan kapal-kapal yang berlayar di lautan dengan membawa apa yang bermanfaat bagi manusia”. Dengan segala bentuk aktivitas para nelayan dan mungkin juga dari angkatan perang yang memanfaatkan jalur ini tentu harus dalam koridor senantiasa untuk melakukan inovasi-inovasi agar lebih maju baik dari segi peralatan dan sarana pendukung agar mampu menundukkan segenap bencana yang ada di laut apakah itu badai, kehilangan arah dan tidak adanya angin yang membuat kapal-kapal konvensional berhenti tidak mampu bergerak, Allah juga berfirman: وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ يُرْسِلَ الرِّيَاحَ مُبَشِّرَاتٍ وَلِيُذِيقَكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَلِتَجْرِيَ الْفُلْكُ بِأَمْرِهِDan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya. Itulah mengapa kita senantiasa dimaklumkan oleh Allah untuk senantisa memikirkan kondisi alam yang demikian menakjubkan ini, di mana semua harapan inovasi ini hanya akan bisa dilakukan bagi mereka yang mau memikirkannya.
Sebagai jalur transportasi laut yang mengantarkan manusia kemana yang dia mau, dari satu negeri ke negeri lain, dari satu pulau ke pulau lain; dengan berbagai kepentingannya apakah sebagai transportasi perang, perdagangan, atau ekspedisi biasa. Hal ini tidak akan bisa ada tanpa rahmat-Nya yang menundukkan kapal-kapal yang berlayar itu dan juga laut dengan segalam gejala alam yang melingkupinya.
b)      Sumber Hayati
Inilah keistimewaan agama Islam yang telah begitu sempurna memberikan ajarannya kepada para pemeluknya dengan memberikan hukum halal bagi segenap hewan-hewan laut baik yang masih hidup dalam proses penangkapan atau pun sudah mati ketika ditangkap. Bisa dibayangkan laut yang mempunyai prosentasi 70% dibandingkan dengan daratan, tentu keanekaragaman hayatinya jauh lebih banyak dibandingkan dengan daratan, kemudian akan dilabeli haram tentu akan sangat menyusahkan manusia yang akan memanfaatkan kekayaan yang terkandung di dalamnya
1)      Hewan-hewan Laut
Dalam konteks Indonesia jenis Fauna yang ada di lautan Indonesia sungguh sangat luar biasa banyaknya, apalagi untuk kawasan timur Indonesia. Jenis ikan yang ada di Indonesia ratusan bahkan ribuan spesies. Tentu sangat besar kemanfaatannya jika dikelola dengan baik dan tanpa eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Betapa dengan perairan yang dimiliki bangsa ini, sudah dapat diduga dengan kurang optimalnya pengamanan akan memberikan implikasi banyaknya pencurian kekayaan kita oleh orang-orang luar Indonesia,
Memang kepemilikan menurut Islam; utamanya masalah air (baca: laut dan kandungan di dalamnya) ini tentu milik umum, sehingga tiap individu dapat memanfaatkannya namun kita harus menyerahkan urusan pengelolaannya kepada negara agar dapat dijaga adanya monopoli di antara anggota masyarakatnya.
2)      Flora
Rumput laut adalah tumbuhan yang paling populer di antara kita karena kita sudah lama memanfaatkan ini. Namun tentu masih banyak tumbuhan-tumbuhan lain yang ada di dalam laut yang menantang kita untuk memanfaatkannya. Taman Bawah Laut Bunaken di laut Sulawesi adalah satu di antara sekian banyak komunitas bawah laut yang dapat dinikmati dan memberikan income bagi para pengelola; Pemda dan juga untuk warga sekitar dengan memberikan pelayanan jasa boga atau tempat peristirahatan.
c)      Sumber non Hayati
Barang-barang tambang seperti emas, perak dan logam-logam lainnya tentu bukan tidak mungkin juga terdapat di dalam laut, sebagaimana sudah dieksplorasi dan dieksploitasi barang-barang tambang lainnya di daratan, sebagaimana firman-Nya : وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَ" dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya”. Bahan bakar minyak adalah sumber langka yang walaupun termasuk dalam golongan sumber alam yang tidak mampu untuk diperbaharui namun tidak dapat dipungkiri sumber cadangannya juga cukup  besar dan berada dilepas pantai.
Allah mengisyaratkan ini dengan ayatnya: وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ “dan laut yang di yang menyala”, mungkin karena kandungan minyak yang ada di dalamnya yang sangat besar sehingga nantinya akan mengakibatkan ledakan besar dari bahan bakar ini pada saatnya, wallahu ‘alam. Merupakan tugas para insinyur dan para ahli serta  negara dalam melaksanakan eksplorasi setiap saat dan senantiasa dikembangkan demi kesejahteraan yang merata.

BAB V
MENYELESAIKAN PERSELISIHAN,MUSYAWARAH DAN TA’ARUF
A.  Solusi dalam perselisihan
Allah berfirman. (QS Al-Hujurat [49]: 9)
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9)
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil..” (QS Al-Hujurat [49]: 9)
Konflik akan selalu terjadi kalau ada perbedaan. Entah itu perbedaan dalam keinginan, perbedaan harapan atau cita – cita. Bahkan yang sering sekali adalah perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan setiap konflik, yang harus kita perhatikan adalah bagaimana kita menyikapinya, bukan berfokus kepada konfliknya.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam kondisi yang berbeda-beda. Manusia itu unik. Secara individual, manusia memiliki bakat, kemampuan, dan pengalaman, yang semua itu satu sama lain tidak sama persis dimiliki oleh setiap orang. Dalam hal ini, perbedaan harus disikapi dengan lumrah, karena biar bagaimanapun perbedaan itu akan selalu ada.
Perbedaan pandangan juga sering terjadi antara pemimpin dengan orang yang dipimpinnya. Seringkali keduanya tidak sejalan. Misalnya, ajakan pemimpin tidak diikuti oleh bawahannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Semuanya memang tergantung kepada ajakannya. Pertama, kita harus siap, bahwa memiliki pemimpin ideal itu tidak mudah. Dalam menyikapi perbedaan yang terkadang berujung pada konflik tersebut, kurang lebih ada tiga kita sederhana yang bisa kita jadikan semangat untuk menemukan titik temu bersama, yaitu,
a)      semangat bersaudara,
b)      semangat solusi,
c)      dan semangat maslahat bersama.
Lalu mengapa dalam mengelola konflik kita harus bersemangat? Semangat itu “ruh”.  Semangat itu “jiwa”. Dari semangat akan terlihat suasana hati yang sebenarnya. Pantulannya akan terlihat melalui tutur kata, raut wajah, gerak - gerik, bahkan sampai pada keputusan yang kita ambil saat kita berusaha mendapatkan titik temu dalam menyelesaikan sebuah konflik.  Semangat inilah kiranya yang harus menjiwai perbuatan kita dalam meredakan konflik.
Dalam menyelesaikan konflik, perselisihan, pertengkaran, atau situasi krisis apapun, semangat yang pertama yang harus ditumbuhkan ialah semangat bersauadara, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quran Sesungguhnya orang – orang mukmin adalah bersaudara” (Q.S. Al Hujurat 49:10).
Penekanan pada semangat bersaudara ini penting karena dengan saudara kandung atau seiman pun, kita terkadang menyikapi perbedaan justru dengan “semangat permusuhan”. Semangat permusuhan biasanya terlihat dari struktur kata yang kita ucapkan dan gerak - gerik atau bahasa tubuh kita saat berseteru. Sering kita memperlakukan saudara kita sendiri sebagai musuh. Entah itu dengan penghinaan, caci maki, menghujat, menyebarkan aibnya, membeberkan kekurangannya, atau sampai merusak nama baiknya. Bahkan semangat permusuhan itu tidak jarang samapi merusak kebahagiaan orang lain. Padahal mereka itu adalah saudara kita sendiri. Akibat lain dari semangat permusuhan ini akan tampak pada kehidupa sehari-hari kita.
Hidup jelas menjadi tak nyaman, hati tidak tenang dan gelisah. Raut wajah atau muka terlihat masam. Kata – kata yang terlontar tidak enak didengar, dan jauh dari kata – kata mulia.
Tindakan kita pun banyak mengarah pada kezaliman. Keputusan – keputusan yang dibuat tidak memperlihatkan keadilan. Dengan kata lain, masalah tidak akan segera selesai malah akan segera bertambah
Surat al- hujurat ayat 10 diatas mengajarkan agar ketika kita berada di pusat konflik, iangat selalu bahwa kita ini bersaudara. Ishlah atau berdamai, Insya Allah akan menyebabkan rahmat Allah SWT. turun. Rahmat Allah SWT itu bisa berupa ruh persaudaraan, jiwa persauadaraan, atau semangat bersaudara. Walaupun berbeda kelompok, organisasi keagamaan, atau partai, namuan mereka semau adalah saudara kita.
Ketika, berbelanja, sadarilah bahwa penjual itu saudara kita. Tidak p[erlu kita menawar rendah. Bukankah keuntungan dia juga keuntungan bagi kita sendiri?
Melihat guru kita, sadarilah bahwa mereka memiliki kekurangan dan kelebihan. Jangan terlalu berfokus kepada kekurangannya, karena walau bagaimanapun beliau saudara kita juga. Tidak ada guru yang sempurna. Seharusnya, dalam semangat bersaudara, kita beritahukan bagaimana menjadi guru yang mulia.
Semakin kita menganggap orang lain sebagai saudara, Insya Allah akan semakin tenang hati kita. Kalau kita memiliki semangat bersaudara, niat untuk mengahancurkan orang lain justru akan berbalik menjadi niat untuk membahagiakan orang lain yang notabene adalah saudara kita juga. Pendek kata, orang yang sudah diselimuti oleh semangat persaudaraan, sikapnya penuh kasih sayang dan tidak memvonis.
B.       Ta’aruf
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الْحُجُرَات :13)
Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (Q.S.Al Hujurat:13)
Baberapa hal yang dapat di fahami dari ayat di atas
1. Manusia berasal dari satu diri yang kemudian berkembang menjadi suku-suku dan berbangsa-bangsa.
Semua manusia berasal dari sumber yang satu, kemudian berkembang menjadi berbagai macam warna, ras, budaya, dan bangsa. Mereka harus tetap saling mendekati, saling menghormati dalam  Interaksi sosial.(Annisa:1, Alhujurat:13).
2.  Perbedaan ras, suku, agama, dll.
Manusia di dunia diciptakan beragam dan berbeda-beda. Perbedaan yang sangat menonjol adalah perbedaan fisik. Misalnya perbedaan warna kulit, bentuk mata, bentuk rambut, tinggi badan, dsb. Perbedaan ras dan suku sering menimbulkan pertengkaran dan pertikaian. Bahkan tidak jarang sampai menimbulkan pertumpahan darah. Tindakan seperti ini sangat tidak mencerminkan perilaku Islam. Padahal Islam tidak mengajarkan hal seperti itu. Allah menciptakan manusia yang bersuku-suku dan berbangsa-bangsa bukanlah untuk bersaing menonjolkan keunggulanya lalu menimbulkan pertikaian, akan tetapi agar mereka saling mengenal satu sama lain lalu bersaudara.
3.  Hanya ketaqwaan yang membedakan derajat manusia di mata Allah SWT.
Pada dasarnya mereka mempunyai kedudukan yang sama yang memberikan keunggulan diantara mereka adalah kualitas taqwanya.
Oleh karena adanya keanekaragaman budaya, agama, tradisi dan lain-lain itu, maka manusia harus memberlakukan upaya bersama atas dasar nilai kebaikan (Albirr) dan ketaqwaan (At-taqwa), dan jangan melakukan upaya bersama atas dasar nilai kedosaan (Al-itsm) dan permusuhan (Almaidah:2). Adapun perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka dan sulit dikompromikan,serahkan saja penilaian dan keputusan akhirnya kepada Tuhan (Al-Baqoroh:113)
Dalam suatu hadits riwayat Abu Hatim yang bersumber dari Ibnu Mulaikah berkenaan turunnya ayat ini ialah bahwa ketika fathu Makkah,  Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Beberapa orang berkata, “Apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lain, “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya. “Maka datanglah malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang mereka ucapkan. Maka turunlah ayat ini yang melarang manusia menyombongkan diri karena kedudukan, pangkat, kekayaan, dan keturunan dan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah dinilai dari derajat ketakwaannya.

.




















BAB III

MACAM-MACAM TAFSIR
A.       Macam-macam Tafsir berdasarkan sumbernya
Pembagian Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul isyari ( bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji ( campuran )
1. Tafsir bil-ma’tsur
Adalah penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
Mengenai penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran. Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat.
Dan juga dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi mereka.
Berkata Imam Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain, tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.
2. Tafsir bir-ra’yi
Adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain. Seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Pembagian Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian: yaitu Tafsir Mahmud, dan Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman :    :وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36)
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)
Firman Allah lagi:
قـُلْ إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ تَعْـلَمــُونَ (الأعراف: 33
Artinya:
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)
Juga sabda Rasulullah saw:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:
“ Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.
3. Tafsir Isyari
Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
4. Tafsir bil Izdiwaji ( Campuran )
Tafsir bil Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad akan pikiran yang sehat.
 MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
1. Metode Tahlili (Analitik)
Metode Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
2. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode Muqarin
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.

1 komentar: