BAB I
ILMU TAFSIR
AL-QUR’AN
A. Pengertian
Tafsir
Secara
etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan,Pengungkapan, dan Menjabarkan
kata yang samar.
Adapun
secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau
menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya. Ilmu tafsir merupakan
ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya
berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq
dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang
hingga di zaman modern sekarang ini.
Jadi,
Secara umum Ilmu tafsir adalah ilmu yang bekerja untuk mengetahui arti dan
maksud dari ayat-ayat al Qur’an. Pada waktu Nabi Muhammad masih hidup, beliau
sendiri yang menjelaskan apa maksud dari ayat Al Qur’an, maka hadis Nabi
disebut sebagai penjelasan dari al Qur’an. Setelah Nabi wafat, para sahabat
berusaha menerangkan maksud al Qur’an bersumber dari pemahaman mereka terhadap keterangan
nabi dan dari suasana kebatinan saat itu. Pada masa dimana generasi sahabat
sudah tidak ada yang hidup, maka pemahaman al Qur’an dilakukan oleh para ulama,
dengan interpretasi. Ketika itulah tafsir tersusun sebagai ilmuan.
B. Sejarah
Penafsiran Al-Qur’an
Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman
Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Adapun
perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi empat periode yaitu :
a.
Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang
Arab mengerti makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka
yang masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui
kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang terkandung
dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat variatif dalam memahami
isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang paling mengetahui makna
al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan penjelasan kepada sahabatnya,
sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan (mu’jizat) dan
kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan,
(QS. 16:44). Contohnya hadits yang diriwayatkan Muslim dari Uqbah bin ‘Amir
berkata : “Saya mendengar Rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman
Allah :وأعدوا
لهم ما استطعتم من قوة
kemudian
Rasulullah bersabda : ألا إن القوة الرمي
“Ketahuilah
bahwa kekuatan itu pada memanah”.
Juga hadits Anas yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim Rasulullah
bersabda tentang Al-Kautsar adalah sungai yang Allah janjikan kepadaku (nanti)
di surga.
b.
Tafsir Pada Zaman Shohabat
Adapun metode sahabat dalam
menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa,
adat apa yang mereka dengar dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk
Islam dan telah bagus keislamannya
Diantara tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin
(Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay
bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang paling
banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud
dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya
sama dengan hadist marfu’. 3 Atau paling kurang adalah Mauquf. 4
c.
Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode
penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat,
karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul
beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
1)- Madrasah Makkah atau Madrasah
Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said
bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
2)-
Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir
seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli. Dan 3)-
Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal
adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.
Tafsir yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila
terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa dijadikan dalil
atas pendapat yang lainnya. 5
d.
Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
P eriode Pertama, pada zaman Bani
Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub
bagian dari hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Periode Kedua,
Pemisahan tafsir dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku
tersendiri. Dengan meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut,
seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu
Abi Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad masing-masing
penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in. Periode Ketiga,
Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’
tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad
yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil
tafsir ini tanpa melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai
terjadi ketika mentafsirkan ayat
غير المغضوب عليهم ولاالضالين
ada
sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat
tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Periode Keempat,
pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku – buku tarjamahan dari luar Islam.
Sehingga metode penafsiran bil aqly (dengan akal) lebih dominan dibandingkan
dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi
spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih
menafsirkan ayat Al-Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah
melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan
seterusnya. Periode Kelima, tafsir maudhu’i yaitu membukukan tafsir
menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang
ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam bukunya At-Tibyan fi Aqsamil Al-Qur’an, Abu
Ja’far An-Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan
Al-Jassos dengan Ahkamul Qur’annya.
BAB II
QIROAT
AL-QUR’AN
A.
Pengertian Qira’at
Secara
etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut
terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan
pengertian qira’at ini.
Menurut
Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at
adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an,
baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti
hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf),
ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat
melalui indra pendengaran.”
Sedangkan
menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk
mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang
menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh
dengan cara periwayatan.”
Dari
definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi
Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat
disimpulkan bahwa:
•
Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal
al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat
di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
•
Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara
fi’liyah maupun taqririyah.
•
Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan
adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada
beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam
qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi
sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara
pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan
madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi
SAW.” Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam
menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan
kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
1. القرأة :
Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at
tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية :
Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari
imamnya.
3. الطريق :
Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an
berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Mengenai hal
ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang
menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1.
Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan
karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan
al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi
pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat
tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ
عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ )
juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ
) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ
عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2.
Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi
terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu.
Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3.
Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya
qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat
jibril.
4.
Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya
riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5.
Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan
dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6.
Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Baihaqi
menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at
merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at
yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
Tingkatan Qira’at
Dari uraian di
atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama,
karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang
berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman
atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat
digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم
, harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu
dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang
lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari
Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa
macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu
sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور :
Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai
dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد :
Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan
Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ :
Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ
يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain
qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ
يَوْمِ الدِّيْنِ )
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج :
Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat
al-Qur’an.
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at
yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut
qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
a. Qira’at Sab’ah
Yaitu
tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah
tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan
al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan
di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at
bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at
sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا
لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83}
Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at
sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ
بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ
.
b. Qira’at Syadzzat
Yaitu
qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi
menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima
eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya,
dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at
yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syadzzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau
faedahnya, diantaranya:
1.
Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan.
2.
Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3.
Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at
menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4.
Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat
hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط )
artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali
sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata
air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam
arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud
istinbat yaitu:
إستخراج المعانى
من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an
dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi
di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan
ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun
bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Adapun
perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan
berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SAWT:
يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ
وَاَيْدِيَكُم اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ
اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat,
diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah
di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam
berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal
ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ
Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ
.
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua
kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا
وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at
وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib
diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ
وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai
berikut:
a.
Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan.
b.
Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya
membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu,
kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai
berikut:
a.
Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca
majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ
وْسِكُمْ yang juga majrur.
b.
Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf
kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz
bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah
cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat
bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua
kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi
qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang
yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat
menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan
menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua
kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan
menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci
kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya
membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan
ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
BAB III
MAKANAN YANG
HALAL DAN BAIK
A. Makanan
yang halal dan baik
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar manusia memakan
makanan yang halal dan baik.
Firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُلُوا
مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
( الْبَقَرَة :172)
"يَا أَيّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَات" حَلَالَات "مَا رَزَقْنَاكُمْ
وَاشْكُرُوا لِلَّهِ" عَلَى مَا أَحَلَّ لَكُمْ "إن كنتم إياه تعبدون"
Ada tiga kata
penting yang perlu dibahas pengertiannya, yaitu : Makan, halal, dan baik.
1.
Makan adalah peristiwa memasukkan sesuatu ke dalam tubuh melalui mulut atau
bagian tubuh lainnya (misalnya dalam infus). Dengan demikian, memasukkan cairan
ke dalam mulut dalam bentuk kuah atau minuman juga termasuk kategori makan.
2.
Halal berarti lawful yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
sah menurut hukum. Kebalikan dari halal adalah haram. Dalam kaitannya dengan makanan,
halal dan haram adalah istilah yang menerangkan status hukum suatu makanan,
yaitu sah atau tidak sah menurut hukum Allah. Artinya, suatu makanan halal (sah
menurut hukum Tuhan) belum tentu boleh dimakan. Dalam ayat di atas dijelaskan
bahwa makanan yang boleh dimakan adalah yang halal (sah menurut hukum Allah)
dan baik. Jadi, perlu ditegaskan disini bahwa pengertian halal tidak sama
dengan boleh dimakan. Yang boleh dimakan adalah yang halal dan baik.
3. Makanan yang baik adalah yang bermanfaat bagi
kehidupan orang yang mengkonsumsinya. Manfaat tersebut dapat ditinjau dari segi
jasmaniah dan rohaniah. Makanan yang baik dari segi jasmaniah adalah yang tidak
mengganggu kesehatan sedangkan makanan yang baik dari segi rohaniah adalah yang
tidak membuat rasa permusuhan, rasa kebencian, lupa pada pengingatan Allah,
atau lupa shalat.
B. Pentingnya makanan halal dan pengaruhnya
Memakan makanan halal serta menjauhkan diri dari yang haram sangat
penting sekali. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam berikut ini:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ
( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ
مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ
يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ
حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ »
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima
kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin
dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya: ‘Hai
rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’” (QS. Al-Mu’minun:
51)
Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya
seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo’a: ‘Ya Rabb, Ya
Rabb,’ sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram, maka
bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!”
Dalam hadits di atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
menjelaskan bahwa makanan yang dimakan seseorang mempengaruhi diterima dan
tidaknya amal shalih seseorang. Hal ini tentunya cukup membuat kita memberikan
perhatiaan yang serius dan berhati-hati dalam permasalahan ini.
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan
bahwa amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan memakan makanan yang
halal. Sedangkan memakan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan
membuatnya tidak diterima.”
Hal ini sangat berbahaya sekali, perhatikan lagi sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamyang lain:
إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ
النَّارُ أَوْلَى بِه
“Siapa saja hamba yang dagingnya tumbuh dari (makanan) haram maka
Neraka lebih pantas baginya.” (HR. At-Tirmidzi)
Selain itu, berikut beberapa manfaat makanan halal:
1.
Bagi umat Islam, mengkonsumsi yang halal dan baik (thayib) merupakan
manivestasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah. Hal ini terkait dengan
perintah Allah kepada manusia, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur`an:
“Dan makanlah
makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu
dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 88)
2.
Memakan yang halal dan thayib merupakan perintah dari Allah yang harus
dilaksanakan oleh setiap manusia yang beriman. Bahkan perintah ini disejajarkan
dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas.
Perintah ini juga ditegaskan dalam ayat yang lain, seperti:
“Wahai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
3.
Memakan yang halal dan thayib akan berbenturan dengan keinginan syetan yang
menghendaki agar manusia terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu
menghindari yang haram merupakan sebuah upaya yang harus mengalahkan godaan
syetan tersebut. Mengkonsumsi makanan halal dengan dilandasi iman dan taqwa
karena semata-mata mengikuti perintah Allah merupakan ibadah yang mendatangkan
pahala dan memberikan kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya memakan yang
haram, apalagi diikuti dengan sikap membangkang terhadap ketentuan Allah adalah
perbuatan maksiyat yang mendatangkan dosa dan keburukan. Sebenarnya yang
diharamkan atau dilarang memakan (tidak halal) jumlahnya sedikit. Selebihnya,
pada dasarnya apa yang ada di muka bumi ini adalah halal, kecuali yang dilarang
secara tegas dalam Al Qur’an dan Hadits.
C.
Dampak makanan halal terhadap kesehatan jasmani dan perilaku manusia
Memakan makanan
yang bergizi disamping halal adalah karena untuk kebaikan manusia itu sendiri.
Makanan yang bergizi merupakan makanan yang dibutuhkan untuk memperoleh
kualitas kesehatan yang mempunyai pengaruh terhadap kualitas akal dan rohani.
Bahan makanan
menurut ilmu pengetahuan baik, belum tentu baik menurut ilmu pengetahuan,
seperti otak hewan dikonsumsi oleh orang berpenyakit jantung akan membahayakan
jiwanya. Persyaratan makanan bergizi menurut ilmu gizi adalah memenuhi fungsi:
1. Memenuhi
Kepuasan Jiwa
2. Memberi rasa
kenyang
3. Memenuhi
kebutuhan naluri dan kepuasan jiwa
4. Memenuhi
kebutuhan sel-sel baru untuk kebutuhan badan
5. Menggantikn
sel-sel yang rusak
6. Mengatur
metabolisme
7.
Mempertahankan tubuh
Kesehatan
jasmani banyak tergantung pada apa yang kita makan. Anak balita membutuhkan
protein, sedangkan balita membutuhkan karohidrat lebih banyak dari orang
dewasa.
Jumlah dan variasi mkanan yang mempengaruhi kekuatan tubuh, daya
kerja, dan daya tahan tubuh terhadap makanan yang halal dan bergizi juga dapat
menjaga keseimbangan hormone. Untuk menjaga unsure dasar dalam keharmonisan
kesadaran dan perasaan hati manusia serta keseimbangan mental sesuai ungkapan
“Akal mental yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.”
Disamping alasan yang bersifat lahir (menjaga keseimbangan tubuh
dan kesehatan ). Makanan halal juga memberikan dampak terhadap perilaku seseorang.
1.
Menjaga keseimbangan jiwa manusia yang suci dan fitrah untuk tetap mentauhidkan
Allah.
2.
Menumbuhkan sikap juang yang tinggi karena menjaga kehalalan makananya.
3.
Membersihkan hati dan menjaga lisan, karena daging yang tumbuh akan meningkatkan
kualitas kesalehan.
4.
Menumbuhkan kepercayaan diri dihadapan Allah. Karena Allah akan selalu
mendengarkan do’a kita.
marilah
kita renungkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
فَمَنِ
اسْتَطَاعَ أَنْ لاَ يَأْكُلَ إِلاَّ طَيِّبًا فَلْيَفْعَلْ
“Maka barangsiapa yang bisa untuk tidak makan sesuatu kecuali yang
baik-baik, maka kerjakanlah.” (HR. Al-Bukhari)
D. Minuman keras (khomr)
Arti
asal kata khamr (خَمْر) adalah ‘tutup’. Segala sesuatu yang berfungsi sebagai penutup
disebut khimâr (خِمَار). Kemudian, lebih populer kata itu diartikan sebagai ‘kerudung
atau tutup kepala wanita’, seperti yang terdapat di dalam QS. An-Nûr [24]: 31.
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ
Adapun
arti lain dari kata khamr (خَمْر) adalah ‘minuman yang memabukkan’. Disebut
khamr (خَمْر) karena minuman keras memunyai pengaruh negatif yang dapat
me¬nutup atau me¬lenyap¬kan akal pikiran. Kata khamr (خَمْر)
yang berarti ‘minuman keras’, di dalam Al-Qur’an, disebut enam kali, antara
lain, di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 219
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ
مِنْ نَفْعِهِمَا
dan QS. Al-Mâ’idah [5]: 90 dan 91.
Inti
pembicaraan Al-Qur’an tentang hal ini berkisar pada persoalan hukum meminum
jenis minuman tersebut. Al-Qur’an menetapkan bahwa hukum meminum khamr (خَمْر)
adalah haram. Pengharaman khamr (خَمْر)
ini oleh Al-Qur’an ditetapkan secara bertahap. Pada tahap pertama, Al-Qur’an di
dalam ayat Makkiyah-nya secara tidak langsung mulai menganjurkan menghindari
khamr (خَمْر) dengan menunjukkan bahwa padanya terdapat unsur memabukkan,
seperti ditegaskan di dalam QS. An-Nahl [16]: 67.
وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ
تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ
Meskipun begitu, ayat ini belum mengharamkan
khamr (خَمْر). Dengan kata lain, khamr (خَمْر)
yang dibuat dari buah korma dan anggur itu pada masa awal Islam adalah halal. Kemudian,
pada periode Madinah turun ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela khamr (خَمْر).
Di situ terdapat mudharat yang lebih besar dibandingkan manfaatnya, sebagaimana
di tegaskan di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 219. Menanggapi ayat ini, kaum Muslim
ketika itu masih terpecah menjadi dua golongan. Sebagian meninggalkan minum
khamr (خَمْر) karena menyadari adanya dosa yang besar dan sebagian lagi
tetap meminumnya karena melihat adanya aspek manfaat pada jenis minuman
tersebut. Selanjutnya, Al-Qur’an secara tegas melarang atau mengharamkan minum
khamr (خَمْر) khusus pada waktu-waktu menjelang shalat, seperti yang
terdapat di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 43.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Dengan ayat
ini, seseorang mungkin tetap meminum khamr (خَمْر)
setelah Isya, misalnya, yang pada waktu Shubuh mabuknya hilang. Pada tahap
terakhir, turun ayat Al-Qur’an yang mengharamkan khamr (خَمْر)
secara mutlak pada seluruh waktu, seperti ditegaskan di dalam QS. Al-Mâ’idah
[5]: 90 dan 91.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا
الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90)
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ
بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ
عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ (91)
Diceritakan, ketika ayat ini turun, Umar bin
Al-Khattab berkata, “Sungguh kami berhenti minum khamr (خَمْر)”.
Sahabat Anas meriwayatkan bahwa sejumlah orang tengah minum khamr (خَمْر)
di rumah Abu Thalhah; begitu mendengar diharamkannya khamr (خَمْر),
mereka langsung menumpahkan dan memecahkan semua bejana khamr (خَمْر).
Jumhur ulama bersepakat bahwa khamr (خَمْر),
banyak maupun sedikit, adalah haram.
BAB IV
MEMBERDAYAKAN
AKAL FIKIRAN
A.
Pendayagunaan Akal
Firman Allah QS.
Al-Fathir, 35:27-28.
اَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ اَنْزَلَ مِنَ
السَّمَاءِ مَاءً، فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُّخْتَلِفًا اَلْوَانُهَا، وَمِنَ
الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيْضٌ وَحُمْرٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَنُهَا وَ غَرَابِيْبُ سُوْدٌ
(٢٧) وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهُ كَذَلِكَ،
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَائُوْا، إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ(٢٨)
Artinya:
Tidaklah kamu melihat bahwasannya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami
hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Dan
diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam
warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat. Dan demikian (pula) diantara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. (Al-Fathir, 35:27-28)
Selanjutnya
berkenaan dengan ayat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Alwanuha:
warna-warnanya, seperti merah kuning, hijau dan lain sebagainya.
Al-Judad: jamak
dari juddah, artinya: jalan, yaitu jalan yang bermacam-macam warnanya, digunung
dan semisalnya.
Al-Gharabib:
jamak dari ghirbib: hitam pekat. Orang mengatakan aswadu ghirbib (hitam pekat)
abyadhu baqiq (putih cemerlang) asfaru faqi’ (kuning kemilau) dan ahmaru qanim
(merah membara).5
Pada
ayat ini Allah menguraikan beberapa hal yang menunjukkan kesempurnaan dan
kekuasaannya yang oleh kaum musyrikin dapat dilihat setiap waktu yang kalau
mereka menyadari pula ke-Esaan dan kekuasaan Allah yang Maha Sempurna itu.
Allah menjadikan sesuatu yang beraneka ragam macamnya yang bersumber dari yang
satu. Allah menurunkan buah-buahan yang beraneka ragam warna, rasa dan baunya.
Sebagaimana yang kita saksikan buah-buahan itu warnanya ada yang kuning, ada
yang merah dan sebagainya.
Kemudian
dalam ayat (28) Allah menjelaskan tentang hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan
dan kekuasaanya. Allah SWT, menciptakan binatang-binatang melata dan binatang
ternak, yang bermacam-macam warnanya, sekalipun dari jenis-jenis yang satu.
Bahkan ada binatang yang satu sering terdapat warna yang bermacam-macam. Tentang
ulama atau orang-orang yang berilmu pengetahuan, Ibnu Katsir telah menafsirkan
“tidak lain orang yang akan merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama yang
ma’rifat yaitu mengenal Tuhan menilik hasil kekuasaan dan kebesarannya yang
mempunyai sekalian sifat kesempurnaannya dan yang mempunyai al-Asma’ul Husna
apabila ma’rifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang,
ketakutan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak.
Dari ayat 27
dan 28 tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:7
1. Tanda-tanda kekuasaan Allah ialah diturunkannya hujan, tumbuhlah
tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan buah-buahan yang beraneka ragam.
2. Demikian juga manusia, binatang-binatang diciptakan Allah
bermacam-macam warna jenisnya sebagai tanda kekuasaanNya.
3. Yang benar-benar mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah dan
mentaatinya hanyalah ulama, yaitu orang-orang yang mengetahui secara mendalam
kebesaran Allah. Dia Maha Perkasa menindak orang-orang kafir, Maha Pengampun
kepada hamba-hambanya yang beriman dan taat.
B. Pengembangan Ilmu Pengetahuan
a.
Al-Qur’an Surat Al-Alaq Ayat 1-5
ù&tø%$#
ÉOó$$Î/
y7În/u
Ï%©!$#
t,n=y{
ÇÊÈ t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ ù&tø%$#
y7/uur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ Ï%©!$#
zO¯=tæ
ÉOn=s)ø9$$Î/
ÇÍÈ zO¯=tæ
z`»|¡SM}$#
$tB
óOs9
÷Ls>÷èt
ÇÎÈ
Pokok Uraian
Tafsir Surah al-’Alaq (96) ayat 1-5 *)
Surat
pertama diturunkan sehingga menjadi
‘penanda’ Muhammad SAW sebagai Rasulullah, Diturunkan ketika Rasulullah Muhammad SAW
sedang bertahanuts ‘merenung’ di gua Hira’, pada tanggal 17 Ramadhan lewat
malaikat Jibril yang muncul dengan wujud aslinya
Tema surah ini:
pengajaran dan penjelasan tentang Allah dalam sifat dan perbuatan-Nya serta
bahwa Dia sumber (pengajar) ilmu pengetahuan. Nama lain surah al-’Alaq: Iqra’,
Iqra’ Bismi Rabbika
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
(1)
1.
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang mencipta
Bacalah [wahyu Ilahi, alam,
masyarakat, pengetahuan, diri] dengan nama Tuhan [yang selalu memelihara dan
membimbing]mu dan menciptakan [semua makhluk kapanpun]
a. Qara’a ‘menghimpun’ dan ‘membaca’: menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri sesuatu
b. Bismi sebagai mulabasah ‘penyertaan’: Bacalah disertai dengan
nama Tuhanmu
c. Rabb seakar dengan tarbiyah ‘pendidikan’: pengembangan,
perbaikan, peningkatan
d.
Khalaq ‘mencipta’ = ja’ala ‘mencipta bermanfaat’
e. Panca Baca kita: baca al-Quran, baca buku, baca lingkungan, baca
diri, baca peluang
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2)
2.
Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq
. [Dia adalah Tuhan]
yang telah menciptakan manusia [yakni semua manusia kecuali Adam dan Hawa] dari
‘alaq [yakni segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim]
a. Kecuali Adam dan Hawa, lambang manusia berakal budi yang pertama
b. Insan ‘manusia jiwa’ bisa berasal dari uns ‘harmonis’, nisy
‘lupa’ atau naus ‘gerak’
c. al-’Alaq ‘segumpal darah’, sesuatu yang bergantung di dinding
rahim, embriologi
d. Penegasan kembali proses penciptaan manusia secara utuh-total
(fisik, akal, batin, intuisi) sebagai dasar bagi terlaksanakannya
perbuatan-perbuatan yang lain
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
3. Bacalah dan
Tuhanmu Maha Pemurah
Bacalah [berulang-ulang] dan Tuhanmu [Pemelihara dan Pendidik]mu
Maha Pemurah [sehingga akan melimpahkan aneka karunia]
a. Bacalah (berulang-ulang) [meskipun objek-baca sama niscaya
muncul pengertian baru]
b. al-Akram ‘paling pemurah’. Karama 27 x disebut al-Quran: memberi
dengan mudah tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia, bersifat
kebangsawanan
c. Generasi-generasi bergantian membaca al-Quran dan alam raya yang
kemudian melahirkan pemahaman dan penemuan rahasia yang berbeda, dan terus
berkembang
d. Bacalah dan ulangi bacaan, Tuhanmu akan memberi manfaat
kepadamu, manfaat yang banyak tidak terbatas karena Dia akram, memiliki segala
macam kesempurnaan.
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
4. Yang
mengajar dengan pena
. [Dia yang Maha Pemurah itu] yang mengajar manusia dengan pena
[yakni dengan sarana dan usaha mereka]
a.
al-Qalam ‘pena’ atau ‘hasil alat yang diruncingkan’
b. Ada kesejajaran-berkebalikan redaksi ayat ini dengan ayat ke-5
sehingga memunculkan tafsir luasnya menjadi: (Dia) yang mengajar (manusia)
dengan pena (tulisan) [hal-hal yang telah diketahui manusia]
c. Pengajar ilmu pengetahuan yang telah tertuliskan (pena) semuanya
itu Allah SWT
d. Dikuatkan pula dengan QS al-Qalam [68]: ayat 1 yang artinya: Nun
demi Qalam dan apa yang mereka tulis. Awal surah al-Qalam juga diturunkan
setelah surah al-’Alaq ini
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
(5)
5.
Mengajar manusia apa yang belum diketahuinya
[Dan Dia juga yang] mengajar
manusia [tanpa alat dan usaha mereka] apa yang belum diketahuinya
a. Kesejararan-berkebalikan redaksi ayat ini dengan ayat ke-4 yang
memunculkan tafsir luas: (Dia) mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum
diketahui sebelumnya [inilah 'ilm ladunniy]
b. Pengajar (ilm ladunniy) kepada manusia adalah Allah SWT
c. Allah memperkenalkan diri sebagai Yang Maha Kuasa, Maha
Mengetahui dan Maha Pemurah. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu. Sedangkan
karim (kemurahan)-Nya tidak terbatas sehingga Dia kuasa dan berkenan untuk
mengajar manusia dengan ataupun tanpa pena
C. Pemanfaatan Alam Semesta
"هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْض" أَيْ الْأَرْض وَمَا فِيهَا "جَمِيعًا"
لِتَنْتَفِعُوا بِهِ وَتَعْتَبِرُو
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
اللَّهُ الَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ
لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُون (َالْجَاثِيَة :12)
Allahlah yang menundukkan lautan
untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, dan supaya
kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al Jatsiyah [45] : 12).
a) Sarana Transportasi
Pada
zaman dahulu (sebelum Islam datang dan masa awal Islam sampai abad pertengahan)
fungsi laut adalah sebagai salah satu jalur transportasi yang sangat populer
bagi manusia setelah jalur darat, laut memberikan kontribusi yang sangat luas
bagi kemakmuran hidup manusia. Ini bisa dimaklumi dikarenakan secara geografis
pun komposisi laut jauh lebih besar dari pada daratan. Sehingga manusia
senantiasa berusaha dengan segala upaya agar mampu memanfaatkan jalur ini untuk
kepentingan perdagangan mereka dan juga kepentingan transportasi laut lainnya.
Manfaat laut untuk kepentingan transportasi ini sudah dijelaskan
dalam firman-Nya di surat al Baqarah ayat 164; وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ
النَّاسَ “dan kapal-kapal yang berlayar di lautan
dengan membawa apa yang bermanfaat bagi manusia”. Dengan segala
bentuk aktivitas para nelayan dan mungkin juga dari angkatan perang yang
memanfaatkan jalur ini tentu harus dalam koridor senantiasa untuk melakukan
inovasi-inovasi agar lebih maju baik dari segi peralatan dan sarana pendukung
agar mampu menundukkan segenap bencana yang ada di laut apakah itu badai,
kehilangan arah dan tidak adanya angin yang membuat kapal-kapal konvensional
berhenti tidak mampu bergerak, Allah juga berfirman: وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ يُرْسِلَ الرِّيَاحَ مُبَشِّرَاتٍ
وَلِيُذِيقَكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَلِتَجْرِيَ الْفُلْكُ بِأَمْرِهِ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk
merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar
dengan perintah-Nya. Itulah mengapa kita senantiasa dimaklumkan oleh Allah
untuk senantisa memikirkan kondisi alam yang demikian menakjubkan ini, di mana
semua harapan inovasi ini hanya akan bisa dilakukan bagi mereka yang mau
memikirkannya.
Sebagai jalur transportasi laut yang mengantarkan manusia kemana
yang dia mau, dari satu negeri ke negeri lain, dari satu pulau ke pulau lain;
dengan berbagai kepentingannya apakah sebagai transportasi perang, perdagangan,
atau ekspedisi biasa. Hal ini tidak akan bisa ada tanpa rahmat-Nya yang
menundukkan kapal-kapal yang berlayar itu dan juga laut dengan segalam gejala
alam yang melingkupinya.
b)
Sumber
Hayati
Inilah
keistimewaan agama Islam yang telah begitu sempurna memberikan ajarannya kepada
para pemeluknya dengan memberikan hukum halal bagi segenap hewan-hewan laut
baik yang masih hidup dalam proses penangkapan atau pun sudah mati ketika
ditangkap. Bisa dibayangkan laut yang mempunyai prosentasi 70% dibandingkan
dengan daratan, tentu keanekaragaman hayatinya jauh lebih banyak dibandingkan
dengan daratan, kemudian akan dilabeli haram tentu akan sangat menyusahkan
manusia yang akan memanfaatkan kekayaan yang terkandung di dalamnya
1) Hewan-hewan
Laut
Dalam konteks
Indonesia jenis Fauna yang ada di lautan Indonesia sungguh sangat luar biasa
banyaknya, apalagi untuk kawasan timur Indonesia. Jenis ikan yang ada di
Indonesia ratusan bahkan ribuan spesies. Tentu sangat besar kemanfaatannya jika
dikelola dengan baik dan tanpa eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Betapa dengan
perairan yang dimiliki bangsa ini, sudah dapat diduga dengan kurang optimalnya
pengamanan akan memberikan implikasi banyaknya pencurian kekayaan kita oleh
orang-orang luar Indonesia,
Memang
kepemilikan menurut Islam; utamanya masalah air (baca: laut dan kandungan di dalamnya)
ini tentu milik umum, sehingga tiap individu dapat memanfaatkannya namun kita
harus menyerahkan urusan pengelolaannya kepada negara agar dapat dijaga adanya
monopoli di antara anggota masyarakatnya.
2)
Flora
Rumput laut
adalah tumbuhan yang paling populer di antara kita karena kita sudah lama
memanfaatkan ini. Namun tentu masih banyak tumbuhan-tumbuhan lain yang ada di
dalam laut yang menantang kita untuk memanfaatkannya. Taman Bawah Laut Bunaken
di laut Sulawesi adalah satu di antara sekian banyak komunitas bawah laut yang
dapat dinikmati dan memberikan income bagi
para pengelola; Pemda dan juga untuk warga sekitar dengan memberikan pelayanan
jasa boga atau tempat peristirahatan.
c)
Sumber non
Hayati
Barang-barang
tambang seperti emas, perak dan logam-logam lainnya tentu bukan tidak mungkin
juga terdapat di dalam laut, sebagaimana sudah dieksplorasi dan dieksploitasi
barang-barang tambang lainnya di daratan, sebagaimana firman-Nya : وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَ" “dan
kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya”. Bahan bakar minyak adalah sumber langka yang walaupun termasuk
dalam golongan sumber alam yang tidak mampu untuk diperbaharui namun tidak
dapat dipungkiri sumber cadangannya juga cukup
besar dan berada dilepas pantai.
Allah mengisyaratkan ini dengan ayatnya: وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ “dan laut yang di yang menyala”, mungkin karena
kandungan minyak yang ada di dalamnya yang sangat besar sehingga nantinya akan
mengakibatkan ledakan besar dari bahan bakar ini pada saatnya, wallahu ‘alam.
Merupakan tugas para insinyur dan para ahli serta negara dalam melaksanakan eksplorasi setiap
saat dan senantiasa dikembangkan demi kesejahteraan yang merata.
BAB V
MENYELESAIKAN PERSELISIHAN,MUSYAWARAH DAN
TA’ARUF
A.
Solusi dalam
perselisihan
Allah berfirman. (QS
Al-Hujurat [49]: 9)
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ
إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ
اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (9)
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat
aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya
itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu
telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan
adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil..” (QS Al-Hujurat [49]: 9)
Konflik akan selalu terjadi kalau ada perbedaan. Entah itu perbedaan
dalam keinginan, perbedaan harapan atau cita – cita. Bahkan yang sering sekali
adalah perbedaan kepentingan. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan setiap
konflik, yang harus kita perhatikan adalah bagaimana kita menyikapinya, bukan
berfokus kepada konfliknya.
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
dalam kondisi yang berbeda-beda. Manusia itu unik. Secara individual, manusia
memiliki bakat, kemampuan, dan pengalaman, yang semua itu satu sama lain tidak
sama persis dimiliki oleh setiap orang. Dalam hal ini, perbedaan harus disikapi
dengan lumrah, karena biar bagaimanapun perbedaan itu akan selalu ada.
Perbedaan pandangan juga sering terjadi antara pemimpin dengan orang
yang dipimpinnya. Seringkali keduanya tidak sejalan. Misalnya, ajakan pemimpin
tidak diikuti oleh bawahannya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Semuanya memang
tergantung kepada ajakannya. Pertama, kita harus siap, bahwa memiliki pemimpin
ideal itu tidak mudah. Dalam menyikapi perbedaan yang terkadang berujung pada
konflik tersebut, kurang lebih ada tiga kita sederhana yang bisa kita jadikan
semangat untuk menemukan titik temu bersama, yaitu,
a)
semangat
bersaudara,
b)
semangat
solusi,
c)
dan semangat
maslahat bersama.
Lalu mengapa dalam mengelola konflik kita
harus bersemangat? Semangat itu “ruh”. Semangat
itu “jiwa”. Dari semangat akan terlihat suasana hati yang sebenarnya.
Pantulannya akan terlihat melalui tutur kata, raut wajah, gerak - gerik, bahkan
sampai pada keputusan yang kita ambil saat kita berusaha mendapatkan titik temu
dalam menyelesaikan sebuah konflik. Semangat inilah kiranya yang harus menjiwai
perbuatan kita dalam meredakan konflik.
Dalam menyelesaikan konflik, perselisihan,
pertengkaran, atau situasi krisis apapun, semangat yang pertama yang harus
ditumbuhkan ialah semangat bersauadara, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT
dalam Al Quran Sesungguhnya orang – orang mukmin adalah bersaudara” (Q.S. Al
Hujurat 49:10).
Penekanan pada semangat bersaudara ini
penting karena dengan saudara kandung atau seiman pun, kita terkadang menyikapi
perbedaan justru dengan “semangat permusuhan”. Semangat permusuhan biasanya
terlihat dari struktur kata yang kita ucapkan dan gerak - gerik atau bahasa
tubuh kita saat berseteru. Sering kita memperlakukan saudara kita sendiri
sebagai musuh. Entah itu dengan penghinaan, caci maki, menghujat, menyebarkan
aibnya, membeberkan kekurangannya, atau sampai merusak nama baiknya. Bahkan
semangat permusuhan itu tidak jarang samapi merusak kebahagiaan orang lain.
Padahal mereka itu adalah saudara kita sendiri. Akibat lain dari semangat
permusuhan ini akan tampak pada kehidupa sehari-hari kita.
Hidup jelas menjadi tak nyaman, hati tidak
tenang dan gelisah. Raut wajah atau muka terlihat masam. Kata – kata yang
terlontar tidak enak didengar, dan jauh dari kata – kata mulia.
Tindakan kita pun banyak mengarah pada
kezaliman. Keputusan – keputusan yang dibuat tidak memperlihatkan keadilan.
Dengan kata lain, masalah tidak akan segera selesai malah akan segera bertambah
Surat al- hujurat ayat 10 diatas
mengajarkan agar ketika kita berada di pusat konflik, iangat selalu bahwa kita
ini bersaudara. Ishlah atau berdamai, Insya Allah akan menyebabkan rahmat Allah
SWT. turun. Rahmat Allah SWT itu bisa berupa ruh persaudaraan, jiwa persauadaraan,
atau semangat bersaudara. Walaupun berbeda kelompok, organisasi keagamaan, atau
partai, namuan mereka semau adalah saudara kita.
Ketika, berbelanja, sadarilah bahwa penjual
itu saudara kita. Tidak p[erlu kita menawar rendah. Bukankah keuntungan dia
juga keuntungan bagi kita sendiri?
Melihat guru kita, sadarilah bahwa mereka
memiliki kekurangan dan kelebihan. Jangan terlalu berfokus kepada
kekurangannya, karena walau bagaimanapun beliau saudara kita juga. Tidak ada
guru yang sempurna. Seharusnya, dalam semangat bersaudara, kita beritahukan
bagaimana menjadi guru yang mulia.
Semakin kita menganggap orang lain sebagai
saudara, Insya Allah akan semakin tenang hati kita. Kalau kita memiliki
semangat bersaudara, niat untuk mengahancurkan orang lain justru akan berbalik
menjadi niat untuk membahagiakan orang lain yang notabene adalah saudara kita
juga. Pendek kata, orang yang sudah diselimuti oleh semangat persaudaraan,
sikapnya penuh kasih sayang dan tidak memvonis.
B.
Ta’aruf
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الْحُجُرَات
:13)
Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (Q.S.Al
Hujurat:13)
Baberapa hal
yang dapat di fahami dari ayat di atas
1. Manusia
berasal dari satu diri yang kemudian berkembang menjadi suku-suku dan
berbangsa-bangsa.
Semua manusia
berasal dari sumber yang satu, kemudian berkembang menjadi berbagai macam
warna, ras, budaya, dan bangsa. Mereka harus tetap saling mendekati, saling
menghormati dalam Interaksi
sosial.(Annisa:1, Alhujurat:13).
2. Perbedaan ras, suku, agama, dll.
Manusia di
dunia diciptakan beragam dan berbeda-beda. Perbedaan yang sangat menonjol
adalah perbedaan fisik. Misalnya perbedaan warna kulit, bentuk mata, bentuk
rambut, tinggi badan, dsb. Perbedaan ras dan suku sering menimbulkan
pertengkaran dan pertikaian. Bahkan tidak jarang sampai menimbulkan pertumpahan
darah. Tindakan seperti ini sangat tidak mencerminkan perilaku Islam. Padahal
Islam tidak mengajarkan hal seperti itu. Allah menciptakan manusia yang
bersuku-suku dan berbangsa-bangsa bukanlah untuk bersaing menonjolkan
keunggulanya lalu menimbulkan pertikaian, akan tetapi agar mereka saling
mengenal satu sama lain lalu bersaudara.
3. Hanya ketaqwaan yang membedakan derajat
manusia di mata Allah SWT.
Pada dasarnya
mereka mempunyai kedudukan yang sama yang memberikan keunggulan diantara mereka
adalah kualitas taqwanya.
Oleh karena
adanya keanekaragaman budaya, agama, tradisi dan lain-lain itu, maka manusia
harus memberlakukan upaya bersama atas dasar nilai kebaikan (Albirr) dan
ketaqwaan (At-taqwa), dan jangan melakukan upaya bersama atas dasar nilai
kedosaan (Al-itsm) dan permusuhan (Almaidah:2). Adapun perbedaan-perbedaan yang
ada diantara mereka dan sulit dikompromikan,serahkan saja penilaian dan
keputusan akhirnya kepada Tuhan (Al-Baqoroh:113)
Dalam suatu
hadits riwayat Abu Hatim yang bersumber dari Ibnu Mulaikah berkenaan turunnya
ayat ini ialah bahwa ketika fathu Makkah,
Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Beberapa orang berkata, “Apakah
pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lain,
“Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya. “Maka
datanglah malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang mereka
ucapkan. Maka turunlah ayat ini yang melarang manusia menyombongkan diri karena
kedudukan, pangkat, kekayaan, dan keturunan dan bahwa kemuliaan seseorang di
sisi Allah dinilai dari derajat ketakwaannya.
.
BAB III
MACAM-MACAM TAFSIR
A.
Macam-macam Tafsir berdasarkan
sumbernya
Pembagian
Tafsir secara ilmiah, tafsir terbagi menjadi tiga bagian:
- Tafsir
bil-ma’tsur ( bir-riwayah )
- Tafsir
bir-ra’yi ( bid-dirayah )
- Tafsirul
isyari ( bil-isyarah )
- Tafsir bil Izdiwaji
( campuran )
1. Tafsir
bil-ma’tsur
Adalah
penafsiran Al Qur’an dengan Qur’an, atau dengan Hadits ataupun perkataan para
Shahabat, untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah swt.
Mengenai
penafsiran Al Qur’an dengan perkataan para Shahabat ketahuilah, bahwasanya
Tafsir Shahabat termasuk Tafsir yang dapat diterima dan dijadikan sandaran.
Karena para Shahabat (semoga Allah meridhoi mereka), telah dibina langsung oleh
Rasulullah saw, dan menyaksikan turunnya wahyu serta mengetahui sebab-sebab
diturunkannya ayat.
Dan juga
dikarenakan kebersihan hati mereka, dan ketinggian martabat mereka dalam
kefashihan dan bayan. Juga karena faham mereka yang shahih dalam menafsirkan
Kalam Allah swt. Dan juga dikarenakan mereka lebih mengetahui rahasia-rahasia
yang terkandung dalam Al Qur’an dibandingkan seluruh manusia setelah generasi
mereka.
Berkata Imam
Hakim Rahimahullah: Sesungguhnya tafsir para Shahabat (semoga Allah meridhoi
mereka) yang mana mereka telah menyaksikan wahyu dan turunnya Al Qur’an dihukumkan
Marfu’ (sampai atau bersambung kepada Nabi saw). Ataupun dengan kata lain,
tafsir para Shahabat mempunyai hukum hadits Nabawi yang Marfu’ kepada Nabi saw.
2. Tafsir
bir-ra’yi
Adalah
tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman
sendiri. Dan penyimpulan (istinbath) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Seiring
perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metoda tafsir karena tumbuhnya
ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah maka tafsir ini memperbesar peranan
ijtihad dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan
ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, hadits dan ilmu
hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain. Seorang mufassir akan menggunakan
kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan
bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
Pembagian
Tafsir bir-ra’yi:
Tafsir
bir-ra’yi terbagi menjadi dua bagian: yaitu Tafsir Mahmud, dan Tafsir Madzmum
a. Tafsir Mahmud: Adalah suatu penafsiran yang sesuai dengan
kehendak syari’at (penafsiran oleh orang yang menguasai aturan syari’at), jauh
dari kebodohan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, serta
berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami nash-nash Qur’aniyah.
b. Tafsir al Madzmum: Adalah penafsiran Al Qur’an tanpa berdasarkan
ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri, tanpa mengetahui
kaidah-kaidah bahasa atau syari’ah. Atau dia menafsirkan ayat berdasarkan
mazhabnya yang rusak maupun bid’ahnya yang tersesat.
Hukum
Tafsir bir-ra’yi al Madzmum: Menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu dan Ijtihad
semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram. Allah berfirman : :وَلاَ تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ (الإ ســــراء: 36)
Artinya:
“Dan janganlah
kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS,
Al Isra’: 36)
Firman Allah
lagi:
قـُلْ
إِنَّمَا حـَرَّمَ رَبِّيَ ٱلْفـَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَٱلإِثـْمَ وَٱلْبَغْيَ بِغَـيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تـُشْــرِكـُواْ بِٱللّـَهِ مَا
لَمْ يُنـَزِّلْ بِهِ سُلْـطَاناً وَأَن تَقـُولُواْ عَلَى ٱللّـَهِ مَا لاَ
تَعْـلَمــُونَ (الأعراف: 33
Artinya:
“Katakanlah:
Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan
sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)
Juga sabda
Rasulullah saw:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya:
“ Dari Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa
menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.
3. Tafsir
Isyari
Menurut kaum
sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang
segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang
isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh
ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan
Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan
gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
4. Tafsir bil
Izdiwaji ( Campuran )
Tafsir bil
Izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil Matsur dan
Tafsir bil Ra’yi yaitu menafsirkan Al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan
antara sumber tafsir riwayat yang kuat dan shahih, dengan sumber hasil ijtihad
akan pikiran yang sehat.
MACAM-MACAM TAFSIR BERDASARKAN METODENYA
1. Metode
Tahlili (Analitik)
Metode
Tahlili adalah metode menafsirkan Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan Al-Qur’an
dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh
Al-Qur’an. Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan.
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat
dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur’an. Dia menjelaskan kosa
kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan
kandungan ayat, yaitu unsur-unsur I’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat,
menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fikih, dalil syar’i,
arti secara bahasa, norma-norma akhlak dan lain sebagainya.
Menurut Malik
bin Nabi, tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur’an dengan metode ini adalah
untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatan
Al-Qur’an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat Islam
dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini
menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah . Kelemahan lain
dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat
mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan
Al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat”
generasi berikutnya.
2. Metode
Ijmali (Global)
Metode
ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur’an secara singkat dan global, dengan
menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas
sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun
memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh
lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada
pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat
yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.
3. Metode
Muqarin
Tafsir
ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan
hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan
perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
4. Metode
Maudhu’i (Tematik)
Metode
ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama
membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya
selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.