Sabtu, 08 April 2017

Stilistika Al Qur'an

Stilistika Al Qur'an

PENDAHULUAN
Sering kali saat membaca atau mendengar bacaan Al-Qur’an, seseorang tiba – tiba merasa tertarik, namun tidak dapat menjelaskan mengapa atau apa yang menyebabkan merasa tertarik. Apakah persoalan ini muncul karena alasan teologis, semacam aspek estorik dari unsur keberagamaan seseorang ataukah disebabkan oleh hal lain yang inheren dalam Al-Qur’an itu sendiri ?
Apabila Al-qur’an yang dibaca dengan fonetik, pelafalan dan intonasi yang baik dan benar, secara alamiah akan menimbulkan irama mengalir dan memberikan nuansa makna dalam membacanya.
Jika diperhatikan, akan tampak bahwa bacaan Al-Qur’an terkadang terasa berat, terutama bila lafal – lafalnya menggunakan huruf seperti Ba, Dal, dan Jim ( ب , د , ج ). Akibatnya perpindahan dari satu lafal ke lafal berikutnya menimbulkan irama yang sangat kental dan berat, sehingga memberi kesan suasana cemas dan takut. ( lihat pada lampiran, contoh no : 1).
Namun, ada kalanya bacaan Al-Qur’an terkadang juga terasa ringan, terutama jika lafal – lafalnya menggunakan seperti ta, ra, dan sin ( ت, ( س, ر sehingga perpindahan dari satu lafal ke lafal berikutnya menimbulkan irama yang ringan dan suasana santai, ( lihat pada lampiran, contoh no : 2 ).
Terkadang pula Al-qur’an terdengar seperti suara bisikan ditelinga, terutama bila ayat – ayatnya berakhiran dengan huruf sin, ( lihat pada lampiran, contoh no : 3).

Seperti kita ketahui medium yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa. Implikasinya, pengamatan terhadap bahasa ini akan dapat mengungkapkan hal – hal yang membantu dalam menafsirkan al-Qur’an.

Sebagai contoh, kalau dilihat secara lebih seksama, dalam hal struktur kalimat, al-Qur’an sering menggunakan kalimat yang berbeda untuk suatu pesan yang menurut pengamatan sepintas sama, atau menggunakan struktur kalimat yang sama namun untuk kasus yang berbeda, sehingga terkadang tampak seperti ada deviasi dari tata bahasa yang baku.

Juga dalam pemilihan lafal, Al-Qur’an sering menggunakan lafal yang memiliki arti sama ( mirip ) dalam bahasa Indonesia, misalnya lafal ru’ya dan ahlam ( diterjemahkan : “ mimpi “ ). Yang menarik adalah, jika tiap lafal itu memang memiliki makna yang sama, niscaya antara satu lafal dengan lafal lainnya bisa saling mengganti. Namun kenyataannya penggantian semacam ini dalam al-Qur’an tidak pernah terjadi. Artinya hal ini mengindikasikan bahwa setiap lafal tersebut memiliki makna spesifik, makna khas, yang belum ditemukan padanannya secara pas dalam bahasa Indonesia.

Dalam hal ini para peneliti bahasa telah melakukan pengkajian dan pendekatan terhadap aspek kebahasaan, termasuk di dalamnya kajian stilistika ( uslub ). Kajian stilistika termasuk dalam studi linguistik modern, kajiannya meliputi hampir semua fenomena kebahasaan, hingga pembahasaan tentang makna. Ia mengkaji lafal baik secara terpisah ataupun tatkala digabungkan ke dalam struktur kalimat. ( Syukri Muhammad ‘ayyad, 1982, hal 48 ).

Menurut Panuti sudjirman studi stilistika pun mengkaji para sastrawan memanfaatkan unsur kaidah dalam bahasa dan efek apa yang akan ditimbulkan oleh penggunaanya, mengkaji ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra dan meneliti deviasi terhadap tata bahasa.

PENGERTIAN STILISTIKA

Stilistika secara sederhana dapat diartikan sebagai kajian linguistik yang objeknya berupa style. Sedangkan style adalah cara penggunaan bahasa dari seseorang dalam konteks tertentu dan untuk tujuan tertentu. .( Geoffrey Neil leech, 1984, hal 10 )

Menurut Gorrys Keraf kata style diambil dari kata latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata – kata secara indah. (Gorrys Keraf, 1987, hal, 112 ).

Dalam kamus linguistik disebutkan, stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusasteraan.( Harimukti Kridalaksana, 1983, hal 157 ) Dalam literatur Arab stilistika dikenal dengan istilah uslub. ( Syukri Muhammad ‘ayyad, 1982, hal 41 )

Saussure, ahli bahasa asal swiss, menjelaskan istilah tersebut dengan cara membedakan antara langue dan parole. Langue adalah kode atau sistem kaidah – kaidah bahasa yang bisa digunkan oleh para penutur bahasa. Sedangkan parole adalah penggunaan atau pemilihan sistem tersebut secara khas oleh penutur bahasa atau penulis dalam situasi tertentu, style lebih mendekati arti parole. ( Geoffrey Neil leech, 1984, hal 11 )

Dari beberapa aspek di atas tampak dua aspek yang mencolok dalam kajian stilistika yaitu, aspek estetik dan aspek linguistik. Aspek estetik berkaitan dengan cara khas yang digunakan penutur bahasa atau menulis karya sastra, aspek, linguistik berkaitan dengan ilmu dasar ( pokok ) dari stilistika. Mungkin timbul pertanyaan dari aspek mana stilistika memulai kajiannya, aspek estetik atau linguistik ?

Untuk menjawab pertanyaan ini patut kita kemukakan teori spitzer tentang philological circle atau the circle of understanding. Dalam teori ini dikatakan bahwa observasi linguistik menstimulir pemahaman sastra dan pemahaman sastrapun menstimulir observasi linguistik. Dengan kata lain, kedua aspek tersebut dipakai secara simultan untuk mengkaji teks sastra, sehingga dalam kasus ini tidak dikenal lagi mana yang dulu dan mana yang kemudian. ( Geoffrey Neil leech, 1984, hal 13 )


OBJEK KAJIAN STILISTIKA
Stilistika mengkaji seluruh fenomena bahasa mulai dari fonologi ( bunyi bahasa ) hingga semantik ( makna dan arti bahasa ). ( Syukri Muhammad ‘ayyad, 1982, hal 41 ) agar ranah kajian tidak terlalu luas, kajian stilistika biasanya dibatasi pada teks tertentu , dengan memperhatikan preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengamati antar hubungan-hubungan pilihan itu untuk mengidentifikasi ciri – ciri stilistik seperti sintaksis ( tipe struktur kalimat ), leksikal ( penggunaan kelas kata tertentu ), restoris atau deviasi ( penyimpangan dari kaidah umum tata bahasa. ( Panuti Sudjirman, 1993, hal 10 )

Dengan demikian ranah kajian stilistika meliputi :

Fonologi
Preferensi lafal
Preferensi kalimat
Deviasi




KARAKTERISTIK STILISTIKA AL-QUR’AN

A. Fonologi dan efek yang ditimbulkan

Fonologi adalah bidang linguistik yang menyelidiki bunyi – bunyi bahasa menurut fungsinya.( Harimukti Kridalaksana, 1983, hal 45 ). Bunyi – bunyi bahasa pada dasarnya terbagi dua, konsonan dan vokal. Konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat saluran suara di atas glotis ( misalnya : b, c, dan d ). Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara dan tanpa penyempitan dalam saluran suara di atas glotis ( misalnya : a, i, u, e, o ) .( Harimukti Kridalaksana, 1983, hal 91, 177).

Penelitian terhadap hubungan fonologi dengan efek yang ditimbulkan telah lama dilakukan para ulama, antara lain oleh al-Khalil bin Ahmad, sibawaih dan abul fatah usman bin juny.( mahmud Ahmad Najlah, 1981, hal 332-334 ) efek tersebut terbagi dua pertama efek fonologi terhadap keserasian. Kedua efek fonologi terhadap makna

a. Efek Fonologi Terhadap Keserasian

Pemilihan huruf dalam al-Qur’an dan penggabungan antara kosongan dengan vokal sangat serasi sekali, sehingga memudahkan dalam pengucapan.

Yang dimaksud dengan dengan keserasian dalam tata bunyi al-Qur’an adalah keserasian dalam pengaturan harakah ( tanda baca yang menimbulkan bunyi a,i,u ) sukun ( tanda baca “ mati “ ) madd ( tanda baca yang menimbulkan bunyi panjang ), dan gunnah ( nasal ) sehingga enak untuk didengar dan diresapkan. ( Muhammad ‘Abdul ‘Adim az-Zarqoni, tanpa tahun, hal 205 ), tatkala kita mendengarkan al-Qur’an surah dan ayat mana saja, yang dibaca dengan baik dan benar. Akan terdengar irama, nada musik mengalun yang sangat mengagumkan, huruf – huruf menyatu, sehingga sulit untuk dipilah – pilah satu sama lainnya.

Keserasian bunyi pada akhir ayat melebihi purwakanti yang beragam, sehingga tidak menjemuhkan. Misalnya : ( lihat pada lampiran, contoh no : 4 )

Pada ayat – ayat itu terdapat bunyi vokal “ a “ namun diiringi oleh konsonan yang bervariasi, sehingga menimbulkan hembusan suara yang berbeda, yaitu : ba, da, ta, dan qa.

Dalam surah lain kesamaan bunyi akhir terkadang diselingi oleh bunyi vokal lain, seolah – olah ada deviasi dari irama yang ada. Misal ( lihat pada lampiran, contoh no : 5 )

konsonan yang menyertai vokal pun beragam, sehingga menimbulkan bunyi tin, din,’un, rin lin, sun dan seterusnya, sehingga tidak menimbulkan kebosanan, karena irama yang ditimbulkan datang silih berganti.

b. Efek Fonologi Terhadap Makna

Bahasa terdiri dari atas lambang – lambang, yaitu tanda – tanda yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang lain. Di dalam bahasa, tanda terdiri atas rangkaian bunyi yang pada ragam tulis dialihkan ke dalam tanda – tanda visual, yaitu huruf dan tanda baca. Hubungan antara rangkaian bunyi tertentu dan makna yang dinyatakan bersifat arbiter semata, tidak ada hubungan yang wajar antara lambang dan objek yang dilambangkannya ( Panuti Sudjiman, 1993hal. 9 ). Namun demikian jika ada bunyi lafal yang menyerupai atau menunjuk kepada makna yang dikandung, maka makna ini dianggap lebih kuat ( Mahmud Ahmad Najlah, 1981, hal. 335 ).

Abu-Fatah ‘Usman bin Juniy telah mengadakan penelitian terhadap kasus ini. Dia mengatakan bahwa masdar ruba’I mudo’af [ infinitif berhuruf empat yang mendapat mengulangan bunyi ] mengandung arti pengulangan, seperti lafal : za’ za’ ah, qalqalah, solsolah, dan qarqarah mengandung arti goncangan, keributan, bunyi berderik – derik, bunyi gemerincing, bising dan keroncongan [ perut ].

Selanjutnya dinyatakan bahwa pengulangan ‘ain fi’il [ huruf kedua kata kerja ] menunjuk kepada makna pengulangan, seperti : kassra, qatta’a, fattaha, dan gallaqa, mengandung arti memecah – mecah, memotong – motong, membuka – buka, menutup – nutup ( Mahmud Ahmad Nadjlah, hal. 335 ).

Karakteristik bunyi huruf dan kaitannya dengan makna dalam Al-Qur’an menjadi kajian Mahnud Ahmad Najlah dalam bukunya Luqah al-Qur’ân al-Karim fil Juz ‘ Amma. Ia mengkaji huruf sin pada surah an – Nas ( 114 ) terutama pada ayat 5 dan 6. Huruf sin termasuk jenis konsonan frikatif. Manusia tidak bisa mengucapkannya dengan mulut terbuka, namun harus dengan menempelkan gigi atas dengan gigi bawah pada ujung lidah. Bunyi seperti ini secara khusus dipilih untuk memberikan kesan bisikan para pelaku kejahatan dan tipuan, sebagaimana dilakukan oleh Syaitan terhadap manusia agar mereka mau melakukan perbuatan ma’siat. Demikian pula huruf sad dan fa, kedua huruf ini juga termasuk konsonan frikatif, dan memiliki karakteristik yang mirip dengan huruf sin.

Selanjutnya ia meneliti huruf ra dan fa terutama dalam surah an-Nazi’at [79:6-14]. Pengulangan huruf ra dengan pengucapan yang cepat menggambarkan getaran yang ditimbulkan ( dalam konteks ini ) bumi dan langit, apalagi ditopang oleh bunyi fad dan jim yang didahalui vocal panjang, sehingga menggambarkan pengulangan ra yang terus-menerus, kemudian nafas dan udara pun berhenti tatkala mengucapkan huruf jim, lalu dibuka kembali untuk mengucapkan huruf fa (Mahmud Ahmad Najlah, 1981, hal.347-348). Maka sempurnalah gambaran getaran bumi dan hati yang diikuti rasa takut yang mencekam.

Keserasian huruf sangat membantu keserasian kata, selanjutnya keserasian kalimat secara keseluruhan. Dalam hal ini irama yang dipantulkan al-Quran terkadang terkesan pelan dan terkadang sedang atau cepat. Irama lambat biasanya berisi pelajaran atau wejangan dan irama cepat biasanya berisikan gambaran siksaan. Perhatikan misalnya surah al-Haqqah [69:1-12]. Bunyi lafal al-haqqah dan al-Qariah terkesan lambat. Ayat ini mengandung makna pelajaran atau peringatan tentang hari kiamat. Namun pada ayat-ayat selanjutnya yang menerangkan siksaan atas kaum Tsamud dan ‘Ad iramanya terasa cepat dan menghentak – hentak.

Itu semua merupakan usaha pendekatan dari aspek fonologi untuk menjawab pertanyaan kenapa al-Quran menarik untuk dibaca? Hal tersebut merupakan hasil penerungan yang dikaitkan dengan perasaan. Oleh karenanya sudah barang tentu masih terbuka untuk diperdebatkan.

B. Pilihan Lafal dan Efek yang Ditimbulkan

Ragam lafal dalam al-Quran jumlahnya banyak sekali, sebanyak ragam yang ada dalam bahasa Arab, maka dalam kesempatan ini akan dipilih beberapa diantaranya, yaitu : lafal – lafal yang berdekatan maknanya, homonim, dan lafal-lafal yang tepat maknanya.

1. Penggunaan lafal-lafal yang berdekatan maknanya

Tulisan ini sengaja tidak menggunakan lafal sinonim, untuk menghindari anggapan umum yang memahami sinonim sebagai kumpulan beberapa lafal untuk makna yang sama ( Imel Badi’Ya’qub, tanpa tahun, hal. 173 ).

Dalam literature Arab, taraduf atau sinonim ini masih diperdebatkan, apakah mengandung arti kesamaan makna dari beberapa lafal yang berbeda ataukah merupakan rincian sifat dari makna asal ?

Imel Badi’ Ya’qub, guru besar Linguistik pada Universitas Libanon, mengatakan bahwa sinonim adalah fenomena bahasa yang wajar dan berkembang pada setiap bahasa, apabila bahasa Arab fusha merupakan himpunan dari dialek kabilah – kabilah pada masa jahiliyah (Imel Badi’ Ya’qub, tanpa tahun, hal. 176 ).

Menurut Abu Hilal al-Asakir, jika ada dua lafal untuk satu makna atau untuk satu benda, niscaya lafal yang satu memiliki kekhususan yang tidak dimiliki lafal lainnya, kalau tidak demikian niscaya lafal lainnya itu sia – sia ( ‘Aisyah’Abdurrahman bint asy-Syathi, 1984, hal. 211-214 ).

Dalam hal ini yang menarik untuk diperhatikan adalah pendapat Henry Guntur Tarigan, menurutnya sinonim adalah lafal – lafal yang mempunyai denotasi yang sama tetapi berbeda dalam konotasi. Dan dalam kasus-kasus tertentu sinonim hanya mempunyai makna denotatif, seperti persekot, uang muka dan panjar ( Henry Guntur Tarigan, 1986, hal. 17, 30 ).

Misal, lafal ru’yâ dan ahlam sering diartikan sama yaitu mimpi, namun jika diteliti secara cermat pemakaiannya dalam al-Quran memiliki perbedaan. Lafal ahlâm ditampilkan dalam al-Quran sebanyak tiga kali, dalam bentuk plural, dan di dahului lafal adgâs ( membingungkan ), yaitu dalam surah Yusuf [12:44] dan al-Anbiya’ [21:5].

Sedangkan lafal ru’yâ ditampilkan sebanyak tujuh kali, dalam bentuk tunggal, dan semuanya dalam konteks mimpi yang benar, lima kali untuk mimpi para nabi dan yang dua kali untuk mimpi al-Aziz yang kemudian tenyata benar, yaitu dalam surah as-Sôffât [37:105], yusuf [12:5,100]al-Isra’ [17:60], al-Fath [48:27], Yusuf [12:43-44] ( ‘A’isyah Abdurrahman bint asy-Syâthi, 1984, hal.215-216 ).

Dari fenomena ini semakin jelas ditunjukkan bahwa lafal ahlâm dalam al-Quran dikonotasikan dengan mimpi yang buruk dan membingungkan, sedangkan lafal ru’yâ dikinotasikan dengan mimpi yang benar – benar akan terjadi.

Lafal zauj dan imra’ah juga sering diduga mengandung arti sama yaitu isteri, karena Hawa digambarkan al-Quran sebagai zauj Nabi Adam lihat Al-Baqorah [2:35], al-A’râf [7:19], dan Tâhâ [20:117]. Istri al-Aziz, Nuh, luth, dan Fir’aun digambarkan sebagai imra’ah. Jika diteliti secara lebih mendalam, ternyata lafal imra’ah tidak pernah dipergunakan untuk Nabi Adam; dan lafal zauj tidak pernah dipergunakan untuk keempat tokoh diatas.

Dalam ayat-ayat lain lafal zauj ditampilkan dalam konteks kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang dan memiliki anak keturunan, seperti dalam surah ar-Rum [30:21] dan al-Furqan [25:74]. Sedangkan untuk kehidupan keluarga yang tidak terjalin kasih sayang karena ada khianat atau perbedaan aqidah digambarkan dengan lafal imra’ah, seperti imra’ah al-Aziz dalam surah Yusuf [12:30,51], imra’ah Nuh, Luth, dan Fir’aun dalam surah at-Tahrim [66:10,11] ( ‘A’isyah Abdurrahman bint asy-Syâthi, 1984, hal.229-230 ).

Dengan demikian jelas bahwa lafal zauj dipergunakan dalam konteks kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang, sedangkan lafal imra’ah dipergunakan dalam konteks kehidupan suami-istri yang kurang terjalin kasih sayang, baik karena alasan berlainan aqidah ataupun karena ada pengkhianatan.

Metode asy-Syâti sangat menarik untuk terus dikembangkan, terutama untuk meneliti lafal-lafal lainnya yang diduga memiliki kesamaan arti, seperti : diyâ’ dengan nûr.

Lafal diyâ’ dan nûr sering diartikan cahaya, namun kalau diteliti lebih cermat, ternyata berbeda penggunaannya dalam al-Quran. Lafal diyâ’ biasanya digandengkan dengan matahari sedangkan nûr digandengkan dengan bulan dan tidak ditemu penggunaan yang sebailknya, sebagaimana tertera dalam surah Yunus [10:5]. Dengan demikian diyâ’ mempunyai konotasi cahaya yang lebih kuat dari pada nûr.

Lafal-lafal dalam al-Quran jika ditelusuri dan diteliti secara mendalam akan memunculkan ilmu-ilmu baru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Apabila ilmu-ilmu tersebut dihimpun tentunya akan merupakan referensi yang sangat mengagungkan, sehingga nantinya al-Quran bukan hanya sumber hukum fiqh dan aqidah tetapi juga sumber bidang kebahasaan.

2. Penggunaan Homonim

Homonim berasal dari bahasa Yunani: homos = sejenis; onoma = nama. Dalam ilmu bahasa homonym adalah kata – kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti dan pengertian berbeda ( Henry Guntur Tarigan, 1986, hal. 30 ).

Namun ada juga yang menyatakan bahwa homonym terjadi, antara lain, karena perbedaan dialek dalam suatu bahasa serta perpindahan dari makna asal kemakna majaz, yang mana hal ini kemudian banyak dipergunakan orang sehingga seakan-akan semuanya menjadi makna hakiki ( ‘Ali Hasaballah, 1976, hal. 287 ).

Faktanya, keberadaan homonym didalam bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya tidak bisa dibantah. Tentu saja al-Quran sebagai pengguna bahasa Arab tidak bisa terlepas dari masalah homonym ini, yang pada tingkat lebih lanjut akan berpengaruh terhadap pemahamannya.

Lafal qurû’ adalah salah satu homonim dalam al-Quran, terdapat dalam surah al-Baqarah: 228. Asy-Syafi’i mengartikannya suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya haid. Kedua pihak mengajukan argumentasi yang kuat.

Menurut asy-Syafi’i, secara etimologis qurû’ berarti menahan. Keadaan suci bagi wanita hakikatnya adalah menahan darah, sedangkan haid mengeluarkan darah. Disamping itu kata qurû’ didahului lafal bilangan tsalatsata ( feminin ) yang mengharuskan kata benda yang dihitungnya ( ma’dûd ) berbentuk maskulin yang tiada lain adalah qurû’ dalam pengertian tuhrun ( suci ).

Abu Hanifah melihatnya dari sisi lain. Menurutnya, maksud disyari’atkan ‘iddah adalah untuk mengetahui rahim istri sewaktu diceraikan suaminya dalam keadaan kosong. Untuk mengetahui kondisi seperti itu adalah dengan terjadinya haid bagi wanita yang masih haid ( Musthafa Sa’id al-Khin, 1972, hal. 70-74 ).

Pengaruh dari pemahaman homonym ini adalah, bahwa ‘iddah wanita yang dicerai suaminya adalah tiga kali masa suci ( asy-Syafi’I ) atau tiga kali masa haid ( Abu Hanifah ). Masa ‘iddah yang dikemukakan asy-Syafi’i lebih pendek, karena begitu wanita yang dicerai memasuki masa haid yang ketiga ‘iddahnya selesai. Tetapi menurut Abu Hanifah, iddah wanita tersebut selesai jika sudah melewati haid ketiga dan memasuki masa suci berikutnya.

Dalam kasus- kasus fiqih, Al-Quran ataupun al-Hadist sering memberi peluang pemikiran-pemikiran alternatif. Peluang seperti ini sangat diperlukan, terutama untuk membina dan mengembangkan hukum islam yang “membumi”, sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.

3. Penggunaan Lafal-Lafal Yang Tepat Makna

Yang dimaksud dengan lafal-lafal yang tepat makna disini adalah pemilihan lafal dalam suatu konteks tertentu sesuai dengan makna yang dibutuhkan. Penelitian dalam aspek ini adalah mencari rahasia pemilihan lafal dalam konteks-konteks tertentu. Ada satu keyakinan bahwa seluruh lafal dalam al-Quran sudah dipilih dan disesuaikan dengan konteksnya, namun untuk mencari rahasia dibalik semua itu, bukanlah suatu hal yang mudah.

Az-Zarqani telah memberikan pilihan langkah dalam studi ini, yaitu dengan mengutip suatu ayat dari al-Quran, menghitung jumlah lafalnya, lalu mencari kalimat selain al-Quran yang jumlah lafalnya sama, kemudian membandingkan kedua kalimat itu, mana yang paling bermakna dan paling efesien penggunaan lafalnya (Muhammad Abdul-‘Adim az-Zarqani, tanpa tahun, hal.221 ).

Sebagai contoh; dalam surah Maryam [19:3-6] Zakaria dilukiskan sebagai orang tua-renta yang sudah lemah dan penuh uban, namun ia tetap berdo’a kepada Allah agar diberi keturunan. Untuk menggambarkan kondisi tua-renta al-Quran memilih lafal wahanal ‘ azmu minni ( tukangku telah lemah ) bukan wahanal-lahmu minni ( dagingku telah lemah ). Tulang adalah tempat daging menempel, kalau tulang sudah lemah apalagi daging, tetapi tidak bisa sebaliknya yaitu jika daging lemah otomatis tulangnya pun lemah. Selanjutnya Zakaria yang sudah tua ini diilustrasikan dengan wasyta’alar-ra’su syaiba, jika lafal syaiba dipindah letak menjadi wasyta’alasy syaibu fir-ro’si maka akan mengandung makna lain. Letak lafal syaiba pada kalimat pertama mengandung makna “uban itu telah memenuhi kepala”;lafal sayaiba dalam kalimat kedua mengandung makna ”uban itu ada dikepala”, mungkin dibagian depan atau bagian belakang. Disamping pada kalimat pertama tergambarkan pertumbuhan uban itu menyebar pelan – pelan dan akhirnya memenuhi kepala. Dengan demikian pemilihan dan peletakan lafal al-azmu dan syaiba pada ayat tersebut sangat tepat dan sesuai dengan tuntutan konteks.

Dari uraian tampak jelas bahwa peletakan lafal dalam Al-Qur’an bukan semata – mata memperhatikan keindahan susunan tapi juga ketepatan makna yang di kandungnya.

C. Pilihan Kalimat dan efek yang ditimbulkannya

Pilihan kalimat maksudnya adalah suatu ragam kalimat yang dipilih sebagai media penyampai pesan – pesan yang juga memiliki pengaruh tehadap makna – maknanya. Ragam kalimat dalam Al-Qur’an banyak sekali, beberapa diantaranya akan diuraikan disini :

1. Penggunaan kalimat tanpa penyebutan fâ’il nya

Suatu kalimat minimal terdiri dari fi’il [ verba ] dan fâ’il [ pelaku verba ]. Namun dalam kasus – kasus tertentu fa’il terkadang tidak disebutkan. Bagaimana hal ini bisa dijelaskan ? di dalam literasi sastra Arab ada beberapa cabang kajian yang menjelaskan hal itu, diantaranya adalah : Ilmu Nahwu [ sintaksis ] yang menjelaskan bentuk nâibul fâi’il [ pengganti fâ’il ]; Ilmu Shorrof [ morfologi ] yang menjelaskan bentuk fi’il mabni lil majhul dan Ilmu Balagoh [ retorika ] yang menjelaskan alasan kenapa fâ’il dibuang.

Dan di dalam Al-Qur’an banyak sekali ditemukan ragam kalimat yang fâ’ilnya tidak disebutkan, antara lain surah at-Takwir [81 : 1-14] ;

“Apabila matahari digulung; apabila bintang – bintang berjatuhan; apabila gunung – gunung dihancurkan; apabila unta – unta yang bunting di tinggalkan; apabila binatang – binatang liar dikumpulkan; apabila lautan di luapkan; apabila ruh – ruh dipertemukan; apabila bayi- bayi perempuan yang dikubur hidup- hidup ditanya; karena dosa apakah dia dibunuh; apabila catatan amal pebuatan dibuka; apabila langit dilenyapkan; apabila surga didekatkan, maka setiap jiwa aka mengetahui apa yang tela dikerjakan.”
Demikian juga terdapat dalam surah Al-An’âm [6: 73], al-Kahfi [18: 99], Tâhâ [20: 102], al-Mu’minûn [23: 101], An-Naml [27: 87], Yâsin [36: 51], Az-Zumar [39: 68], Qâf [50: 20], al-Hâqqah [69: 23], an-Nabâ [18] dan ayat – ayat lainnya.

Ilmu balagah menerangkan bahwa fâ’il tidak disebutkan , dalam kasus pelakunya sudah diketahui, seperti khuliqal insân min ’ajal [ manusia telah dijadikan bertabiat tergesa – gesa ], dikhawatirkan akibat yang akan terjadi duriba waladul malik [ anak raja telah dipukul ] dan karena tidak diketahui pelakunya seperti suriqa matâ [ harta benda telah dicuri ] ( Wahab Muhsin, 1983, hal. 122 ).

Dari sudut pandang stilistika, tidak disebutkannya fâ’il, khususnya pada ayat – ayat tertentu dari kiamat dan bangkit dari kubur, sebagaimana terdapat dalam at-Takwir [81:1-14], al-An’am [6: 73] dan al-Kahfi [18: 99] adlah suatu cara untuk mrngkonsentrasiakan perhatian pembaca kepada peristiwa yang terjadi (‘A’isyah Abdurrahman bint as-Syâthi, 1984, hal. 242 ).

2. Penggunaan kalimat yang beragam.

Yang dimaksud penggunaan kalimat yang beragam disini adalah ragam kalimat untuk menyampaikan suatu pesan [ khitab ] tertentu. Berikut akan dikemukakan beberapa contoh :

Pesan perintah. Misalnya lafal amara digunakan dalam berbagai bentuknya, seperti dalam surah al-A’râf [7: 29], al-Isra [17: 16], Maryam [19: 55], dan al-Alaq [96: 12], lafal kutiba seperti dalam surah al-Baqarah [2: 183, 246], dan lafal fi’il amr ( verba perintah aktif ) seperti dalam surah al-A’râf [7: 29], Yuisuf [12: 9, 29], al-Qhasas [28: 29, 39].
Pesan larangan. Misalnya lafal nahâ digunakan dalam berbagai bentuknya, seperti dalam surah an-Nisa [4: 161], al-An’ âm [6: 28], Al-A’râf [7: 166], al-Mujâdalah [58: 8], lafal harrama dalam surah al-Baqarah [2: 173], Ali Imran [3: 50], al-Maidah [5: 72], al-An’âm [7: 19], laisal birr seperti dalam surah al-Baqarah [2: 177, 189], dan lafal lâ seperti dalam surah Hûd [11: 70], Yusuf [12: 5, 10], al-Kahf [18: 73], dan al-Qashas [28: 39].

Adanya kalimat – kalimat yang beragam tersebut memberikan pengaruh yang positif kepada pembaca, diantaranya pembaca tidak jenuh. Bisa dibayangkan bagaimana jika Al-Qur’an hanya menggunakan lafal amara untuk pesan perintahnya, dan kata naha untuk pesan larangannya, niscaya akan dijumpai ratusan lafal tersebut.

D. Deviasi

Ada dua prisip utama yang berlaku dalam kode bahasa sastra, yaitu prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip deviasi atau penyimpangan ( A. Teeuw, 1983, hal. 19 ).

Pemanfaatan atau pemiliahan diantara dua prinsip tersebut tergantung kepada pengaruh atau efek yang dikehendaki. Jika menghendaki keteraturan dan keselarasan kaidah bahasa maka prinsip ekuivalensi yang digunakan; jika menghendaki kesegaran dan ketidak jenuhan pembaca maka prinsip deviasi yang digunakan. Dan dalam suatu karya, kombinasi diantaranya sangat dibutuhkan.

Prinsip deviasi, di samping ekuivalensi, juga digunakan dalam Al-Qur’an. Deviasi bisa berupa penyimpangan ragam satra maupun struktur bahasa.

Misalnya firman Allah dalam surah al-Fâtihah [1: 7]. Pada ayat ini ada perpindahan struktur kalimat dari an’ amta ‘alaihim [ engkau telah memberikan nikmat kepada mereka ] ke goiril magdhûbi ‘alaihim [ bukan orang – orang yang dimurkai ].

Struktur pertama menggunakan lafal fi’il + fâ’il, sedangkan struktur berikutnya menggunakan isim maf’ ûl [ ajektif objek ]. Jika alur kedua akan disesuaikan dengan yang pertama, maka ayat itu akan berbunyi ma gadhibta ‘alaihim. Namun Al-Qur’an memilih susunan yang berbeda. Pemilihan kalimat ini menimbulkan efek terhadap makna tentang ajaran sopan santun kepada Allah, yakni sudah selayaknya hal – hal yang baik [ dalam kontek ini pemberian nikmat ] disandarkan kepada Allah, namun tidaklah layak untuk menyandarkan yang jelek [ dalam konteks ini murka ] kepada Allah, sekalipun baik dan jelek hakikatnya dari Allah.

Dengan demikian jelas, bahwa deviasi dalam Al-Qur’an bukan asal berbeda dari kaidah – kaidah konvensional, namun memanfaatkan kaidah – kaidah tersebut secara inovatif sehingga menimbulkan efek yang dikehendaki baik dalam purwakanti ataupun makna.



PENUTUP

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahawa kebahasaan Al-qur’an selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian penelitian. Stilistika hanyalah salah satu jalan untuk memahami keagungan kebahasaan Al-qur’an.

Lafal-lafal dalam al-Quran jika ditelusuri dan diteliti secara mendalam akan memunculkan ilmu-ilmu baru. Apabila ilmu-ilmu tersebut dihimpun tentunya akan merupakan referensi yang sangat mengagungkan, sehingga nantinya al-Quran bukan sekedar sumber hukum fiqh dan aqidah tetapi juga sumber bidang kebahasaan.





Daftar Pustaka

Ayyad. Syukri Muhammad, 1982, Madhkal Ila Ilmi Uslub, Darul Ulum, Riyad.
Hasaballah, Ali, 1976, Ushulul Tasyri’ Al-Islamy, Darul Maarif, Cairo
Khin, Musthafa Sa’id, 1972, Asarul Ikhtilafil Fil Qawaidil Ushuliyyah Fil Qur’anil Karim, Maktabah An-Nahdhoh Al-Misriyyah, Cairo
Krisdalaksana, Harimukti, 1983, Kamus Linguistik, Pt Gramedia, Jakarta
Leech, Geoffrey N, 1981, Style In Fiction, Longman, London
Muhsin, Wahab, 1983, Pokok – Pokok Ilmu Balaghah, Angkasa, Bandung
Najlah, Mahmud Ahmad, 1981, Lughah Qur’an Fil Juz Amma, Darun Nahdhoh Al-Arabiyyah, Beirut.
Syathi, Aisyah Abdurrahman Bint, 1984, Al-I’jaz Al-Bayanil Qur’an, Darul Maarif, Cairo.
Sudjiman, Panuti, 1993, Bunga Rampai Stilistika, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Tarigan, Henry Guntur, 1986, Pengajaran Semantik, Angkasa, Bandung.
Ya’qub, Imel Badi, Tanpa Tahun, Fighul Lughah Al-Arabiyah Wa Hashaisuha, Dar-As Syaqofah Al_Islamiyah, Beirut.
Zarqoni, Muhammad Abdul Adhim, Tanpa Tahun, Manahilul Ulumil Qur’an, Isa Al-Babi Al-Halabi Wa Syurokah, Cairo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar