Selasa, 18 April 2017

MONAS




Baru pukul 19.15 ketika aku tiba di Istana Merdeka untuk menjemput Presiden Sukarno. Peringatan hari besar Islam akan dimulai pada pukul 20.00, tetapi ia tampak sudah siap. Beberapa ajudan duduk di sudut lain dalam serambi Istana yang jaraknya sekitar 15 meter dari tempat kami duduk. Di tempat mereka ada Tuti Alawiyah A.S. yang akan membaca Al Qur'an dalam peringatan itu. Dia diantar oleh Hudaya dan Rosiyana dari Departemen Agama. Isteriku lalu menemani Tuti Alawiyah agar dia tidak merasa sendirian. Seperti biasa, para pembaca Al Qur'an, qari' dan qari'ah, orangnya berganti-ganti di antara yang namanya sedang tenar. Tetapi qari'ah selalu Tuti Alawiyah dan Rafiqah Darto Wahab, berganti-ganti.

"Saya sedang menjadi sasaran kritik orang-orang yang keblinger karena saya membangun Monumen Nasional (Monas)," kata Presiden. Kami masih mempunyai cukup waktu untuk berbincang-bincang.

"Biayanya tentu besar sekali, Pak?" aku mengajukan pertanyaan.

"Tentu, tentu. Karena saya harus merobohkan beberapa bangunan di atas tanah yang luasnya hampir sama dengan Gelanggang Olah Raga. Belum lagi membangun gedung-gedung baru di tempat lain sebagai ganti yang saya robohkan. Seperti aku membangun kota satelit Tebet untuk menampung penduduk Senayan yang tanahnya kita perlukan untuk Gelanggang Olah Raga."

"Mengapa Bapak tidak menyelesaikan bangunan Masjid Istiqlal?" aku mengajukan pertanyaan yang penting. Sebagai Menteri Agama, aku amat berkepentingan atas selesainya masjid yang sudah direncanakan oleh Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasyim dan dimulai pemancangan tiang pertamanya di zaman Menteri Agama K.H.M. Ilyas itu.

"Karena saya tidak cukup duit," kata Presiden Sukarno. "Kalau ada ini... (ibu jari dan telunjuknya saling digesekkan maksudnya : uang), saya akan selesaikan dua-duanya sekaligus," jawabnya serius.

"Yaaa, tetapi mengapa Bapak dahulukan Monas?" aku seperti penasaran.

"Begini. Saya sudah tua. Kalau Allah swt menakdirkan saya mati padahal Monas belum selesai, orang sepeninggalku belum tentu menyelesaikannya. Tetapi kalau Masjid Istiqlal yang belum selesai, mereka akan menyelesaikannya. Insya Allah Subhanahu wa Ta'ala...!" Presiden menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya. Aku terharu.

"Hai, saudara/i tahu, tempat Masjid Istiqlal itu didirikan dulunya tempat apa?" Presiden mengalihkan percakapan.

"Benteng VOC," jawabku ketus.

"Haaaaah.., pelajari sejarah yang benar!" tangkisnya, "Dulu di sana ada satu masjid. VOC datang menduduki Jakarta, masjid itu dirobohkan. Mereka mendirikan sebuah benteng kuat. Itu sebab di depannya, beberapa tahun kemudian, didirikan katedral, sebuah gereja besar tempat kediaman Uskup," Bung Karno seperti mengenang.

"Indonesia lalu merdeka. Bekas benteng VOC lalu saya robohkan. Saya dirikan di atasnya Masjid Istiqlal. Hebat tidak Presidenmu?" pertanyaannya sambil membusungkan dada.

"Iya, Pak! Kalau tidak hebat buat apa menjadi presiden...," kami tertawa berbareng.
---------
Sebagaimana diceritakan K.H.Saifuddin Zuhri dalam bukunya "Berangkat dari Pesantren" hlm.695-696

Tidak ada komentar:

Posting Komentar