Baru pukul 19.15 ketika aku tiba di Istana Merdeka untuk
menjemput Presiden Sukarno. Peringatan hari besar Islam akan dimulai pada pukul
20.00, tetapi ia tampak sudah siap. Beberapa ajudan duduk di sudut lain dalam
serambi Istana yang jaraknya sekitar 15 meter dari tempat kami duduk. Di tempat
mereka ada Tuti Alawiyah A.S. yang akan membaca Al Qur'an dalam peringatan itu.
Dia diantar oleh Hudaya dan Rosiyana dari Departemen Agama. Isteriku lalu
menemani Tuti Alawiyah agar dia tidak merasa sendirian. Seperti biasa, para
pembaca Al Qur'an, qari' dan qari'ah, orangnya berganti-ganti di antara yang
namanya sedang tenar. Tetapi qari'ah selalu Tuti Alawiyah dan Rafiqah Darto
Wahab, berganti-ganti.
"Saya sedang menjadi sasaran kritik orang-orang yang
keblinger karena saya membangun Monumen Nasional (Monas)," kata Presiden.
Kami masih mempunyai cukup waktu untuk berbincang-bincang.
"Biayanya tentu besar sekali, Pak?" aku mengajukan
pertanyaan.
"Tentu, tentu. Karena saya harus merobohkan beberapa
bangunan di atas tanah yang luasnya hampir sama dengan Gelanggang Olah Raga.
Belum lagi membangun gedung-gedung baru di tempat lain sebagai ganti yang saya
robohkan. Seperti aku membangun kota satelit Tebet untuk menampung penduduk
Senayan yang tanahnya kita perlukan untuk Gelanggang Olah Raga."
"Mengapa Bapak tidak menyelesaikan bangunan Masjid
Istiqlal?" aku mengajukan pertanyaan yang penting. Sebagai Menteri Agama,
aku amat berkepentingan atas selesainya masjid yang sudah direncanakan oleh
Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasyim dan dimulai pemancangan tiang pertamanya di
zaman Menteri Agama K.H.M. Ilyas itu.
"Karena saya tidak cukup duit," kata Presiden
Sukarno. "Kalau ada ini... (ibu jari dan telunjuknya saling digesekkan
maksudnya : uang), saya akan selesaikan dua-duanya sekaligus," jawabnya
serius.
"Yaaa, tetapi mengapa Bapak dahulukan Monas?" aku
seperti penasaran.
"Begini. Saya sudah tua. Kalau Allah swt menakdirkan
saya mati padahal Monas belum selesai, orang sepeninggalku belum tentu
menyelesaikannya. Tetapi kalau Masjid Istiqlal yang belum selesai, mereka akan
menyelesaikannya. Insya Allah Subhanahu wa Ta'ala...!" Presiden
menundukkan kepalanya dan memejamkan matanya. Aku terharu.
"Hai, saudara/i tahu, tempat Masjid Istiqlal itu
didirikan dulunya tempat apa?" Presiden mengalihkan percakapan.
"Benteng VOC," jawabku ketus.
"Haaaaah.., pelajari sejarah yang benar!"
tangkisnya, "Dulu di sana ada satu masjid. VOC datang menduduki Jakarta,
masjid itu dirobohkan. Mereka mendirikan sebuah benteng kuat. Itu sebab di
depannya, beberapa tahun kemudian, didirikan katedral, sebuah gereja besar
tempat kediaman Uskup," Bung Karno seperti mengenang.
"Indonesia lalu merdeka. Bekas benteng VOC lalu saya
robohkan. Saya dirikan di atasnya Masjid Istiqlal. Hebat tidak
Presidenmu?" pertanyaannya sambil membusungkan dada.
"Iya, Pak! Kalau tidak hebat buat apa menjadi
presiden...," kami tertawa berbareng.
---------
Sebagaimana diceritakan K.H.Saifuddin Zuhri dalam bukunya
"Berangkat dari Pesantren" hlm.695-696
Tidak ada komentar:
Posting Komentar