MENELIKUNG NAFSU
~~~~~~~~~~~~~~~~
DALAM sebuah riwayat dikisahkan, bahwasanya setelah Allah menciptakan akal dan dinobatkan sebagai ciptaan Allah yang mulia, maka Allah menciptakan nafsu. Ketika nafsu diperintahkan menghadap dan Allah bertanya kepadanya: ”Siapakah dirimu dan siapakah Aku?” Nafsu pun dengan santainya menjawab, ”Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Jawaban nafsu yang masih bersifat menentang itu, pada akhirnya membuat dia dicelupkan ke dalam neraka Jahim oleh Allah’Azza wa Jalla.
Setelah mendekam dalam neraka Jahim selama seratus tahun, nafsu kemudian dikeluarkan dan kepadanya diajukan kembali pertanyaan yang sama. ”Siapakah engkau dan siapa Aku?” Agaknya, pencucian selama seratus tahun di dalam neraka Jahim belum membuat nafsu jadi sadar tentang siapa dirinya dan siapa yang menciptakannya.
Jawaban yang diberikan oleh nafsu, masih tetap sama dengan sebelumnya. ”Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau.” Kebodohan nafsu inilah yang membuatnya harus dicelup lagi ke dalam neraka Juu’.
Usai menjalani pencucian di dalam neraka Juu’ selama seratus tahun, nafsu kembali ditanya tentang hal yang sama. Kali ini, nafsu sudah mulai menyadari tentang siapa dirinya. ”Aku adalah hambaMu dan Engkau adalah Tuhanku,” demikian jawabnya. Konon, karena kebodohan dan pembangkangan nafsu inilah, maka Allah kemudian mewajibkan kepadanya untuk berpuasa. Paling tidak, dalam setahun, Allah memerintahkan hambaNya untuk berpuasa selama satu bulan penuh.
Bulan Pembakaran
SEBAGAIMANA diketahui, bahwasanya bulan Ramadhan bermakna bulan pembakaran. Dalam bulan ini, nafsu dibakar – sebagaimana pembakaran dalam neraka Jahim dan neraka Juu’ tadi – sebagai sebuah proses pencucian agar nafsu semakin menyadari tentang siapa dirinya dan siapa Penciptanya.
Apabila sebelumnya Allah yang melakukan pencucian secara langsung, maka setelah manusia diturunkan ke muka bumi, manusia pun diberi kewajiban untuk berjuang mencuci nafsunya sendiri. Proses pencucian dengan berpuasa itulah yang merupakan suatu bentuk perjuangan manusia, sebagai tanda bahwa manusialah yang butuh dirinya untuk dibersihkan. Bukan Allah yang membutuhkan mereka jadi bersih. Dengan kata lain, manusialah yang membutuhkan Allah, bukan Allah yang membutuhkan manusia.
Alhasil, manusia harus pandai-pandai dalam memanage hawa nafsunya agar tidak menjadi pembangkang dan lupa akan siapa dirinya dan siapa Tuhannya. Apabila manusia sampai lalai untuk melemahkan hawa nafsunya sendiri, maka nafsu bisa berbalik jadi pembangkang dan menganggap dirinyalah sebagai Sang Penguasa.
Dalam hal ini, hawa nafsu itu sangat pandai dalam mengeruk keuntungan demi kepentingan dirinya sendiri. Tidak peduli bagaimanapun caranya. Baik itu dengan cara samar-samar maupun dengan terang-terangan, halus maupun kasar. Sebaliknya, nafsu itu tidak pandai dalam memahami segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan kepentingannya.
Akan tetapi, nafsu selalu mencari cara agar segala sesuatu itu bisa bersentuhan dengan kepentingannya. Oleh karena itulah, manusia banyak yang sering tertipu oleh hawa nafsunya sendiri. Boleh jadi, seseorang mengira dirinya sudah berjalan sesuai aturan Tuhannya. Tetapi, ternyata, ia tengah berjalan di atas jalur alternatif yang dibuat oleh hawa nafsunya.
Padahal, jika jalur itu dibuat oleh hawa nafsu, maka sudah barang tentu, tujuan akhirnya bukanlah husnul khatimah. Sebab, yang ingin dituju oleh hawa nafsu adalah segala sesuatu yang memuaskan dirinya. Bukan menuju Tuhan Yang Sebenarnya.
Dalam tataran inilah, dapat kita pahami, jika Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa hawa nafsu itu adalah asistennya setan. Mengapa demikian? Sebab, hawa nafsu senang menyenangkan dirinya sendiri. Sedang setan itu merasa senang jika manusia bisa lupa pada kesenangan Tuhannya.
Orang yang senang menyenangkan dirinya sendiri, maka ia lebih cenderung untuk lupa pada kesenangan Tuhannya. Hal ini dikarenakan, upaya yang dilakukan untuk menyenangkan diri sendiri itu menjadi hijabyang menutupi mata hati kita, sehingga kita tidak bisa melihat apa saja yang menjadi kesenangan Allah itu.
Kehilangan Arah
APABILA seseorang lebih senang menyenangkan hawa nafsunya, maka ia sebetulnya tengah memposisikan hawa nafsunya sendiri sebagai raja yang menguasai dirinya. Tatkala hawa nafsu sudah menjadi raja, maka manusia akan susah melemahkannya dan cenderung aktif memperturutkan apa yang menjadi keinginan hawa nafsu.
Akibatnya yang lebih jauh lagi adalah, manusia jadi kehilangan arah tujuan dalam hidupnya. Apakah arah yang sebetulnya dituju oleh manusia dalam hidup ini? Yakni, Tuhan Yang Sebenarnya. Sedangkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya itu adalah alat untuk menuju Tuhan Yang Sebenarnya itu (Allah).
Misalnya, orang hidup itu membutuhkan makanan untuk menegakkan dan menguatkan tulang-tulangnya. Jika tulang-tulangnya kuat dan badannya bisa tegak atau tidak lemah, maka ia dapat menjalankan kehidupannya dengan tenang. Jika hidupnya tenang, maka ia akan selalu memiliki pikiran yang positif dan dapat beribadah dengan tenang pula.
Maka dalam hal ini, makanan adalah alat untuk menuju Tuhan Yang Sebenarnya. Alhasil, manakala kita memperoleh suatu makanan atau memasukkan makanan ke dalam tubuh kita, maka kita mensyukuri akan kemurahan Allah yang telah memberikan kita makanan. Sehingga dengan adanya makanan itu, tubuh kita tidak menjadi lemah dan kita dapat beribadah dengan tenang.
Jangan sampai terbalik, menjadikan makanan sebagai tujuan dalam hidup ini. Orang yang menjadikan makanan sebagai tujuan hidupnya akan berpandangan: ”Orang hidup itu untuk apa toh? Bukankah orang hidup itu untuk makan? Bukankah agar bisa hidup, kita harus makan? Oleh karena itu, makanan apa saja yang saya inginkan, lebih baik saya turuti. Bukankah kita mencari nafkah, juga untuk bisa membeli makanan? Lalu, mengapa kita harus menahan diri untuk makan? Selama masih bisa masuk ke perut, ya makan saja.”
Kelihatannya, pandangan itu benar adanya. Akan tetapi, jika kita simak lebih seksama, maka dalam pandangan itu, kita telah menjadikan makanan sebagai tujuan dalam hidup. Akibatnya, kita hanya memikirkan makanan apa yang kita sukai dan yang tidak kita sukai. Makanan apa yang ingin kita makan saat ini, dan makanan apa yang akan kita makan nanti.
Pikiran kita disibukkan dengan makanan. Jika tidak bisa makan atau tidak punya makanan, maka kita menjadi susah setengah mati. Seakan-akan hidup kita sudah berhenti sampai di situ. Kita jadi lupa, bahwa makanan itu hanyalah salah satu alat untuk menuju Tuhan. Sedang alat itu, bisa ditarik oleh Allah kapan saja Dia mau. Apabila kita dibuat tidak bisa makan atau tidak punya makanan, maka masih banyak alat lainnya yang dapat digunakan untuk menuju Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar